Samarinda (ANTARA News) - Gangguan jiwa khususnya depresi berat, diperkirakan akan menjadi penyakit nomor satu di dunia pada 2020.

Laporan "The World Health Report" belum lama ini mencatat, kasus gangguan mental tumbuh sangat tinggi. Laporan tersebut menyebutkan 24 persen pengunjung fasilitas kesehatan dasar terdeteksi mengalami gangguan mental dan emosi.

"Jika dilakukan screening (uji kejiwaan) maka berarti satu di antara 10 orang dewasa mengalami gangguan jiwa," kata laporan tersebut.

Artinya jika anda tengah berkumpul dengan 10 orang rekan sejawat anda di sebuah komunitas, bisa jadi salah satu teman anda atau bahkan anda sendiri adalah penderita gangguan jiwa.

Kemajuan zaman serta pesatnya perkembangan berbagai aspek kehidupan di dunia juga menimbulkan akses luas yang bisa menimbulkan masalah sosial serta kesehatan jiwa masyarakat.

Stres akibat pekerjaan (beban pekerjaan, gaji tidak sesuai atau jenjang karir tidak jelas), masalah himpitan ekonomi (krisis ekonomi yang tidak pulih-pulih), masalah keluarga (kian tingginya kasus perselingkuhan), serta kegagalan mencapai tujuan hidup (misalnya, gagal terpilih dalam Pemilu Legislatif atau Pemilu Kepala Daerah) adalah beberapa faktor yang bisa menyebabkan "kegilaan".

Tekanan-tekanan berat terhadap kejiwaan itu bisa berkembang menjadi "schizophrenia" atau gangguan jiwa akut.

"Schizophrenia" berasal dari dua kata, yaitu "schizo" (retak atau pecah/split) dan "phrenia" (jiwa). Penyandang "schizophrenia" adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian.

Salah satu gejala klinis "schizophrenia" positif, adalah jika seseorang sudah mulai "ngobrol sendiri". Gejala-gejala itu dapat terjadi kapan saja. Umumnya, pada pria biasanya timbul pada akhir masa kanak-kanak atau awal usia 20-an, sedangkan pada wanita pada usia 20-an atau awal 30-an.

Gejala "schizophrenia" terbagi dalam tiga kategori, yakni gejala positif, gejala negatif dan gejala kognitif.

Gejala positif antara lain ditandai dengan keadaan delusi atau waham, yaitu keyakinan yang tidak masuk akal, misalnya merasa menjadi orang paling terkenal.

Gejala positif lainnya, yakni halusinasi, yaitu mendengar, melihat, merasakan, mencium sesuatu yang sebenarnya tidak ada.

Gejala positif ketiga, yakni pikiran paranoid, yaitu kecurigaan yang berlebihan. Contohnya merasa ada seseorang yang berkomplot melawan, mencoba mencelakai atau mengikuti, percaya ada makhluk asing yang mengikuti dan yakin dirinya diculik dan dibawa ke planet lain.

Sedangkan gejala negatif "schizophrenia" ditandai dengan motivasi rendah (low motivation). Penderita akan kehilangan ketertarikan pada semua aspek kehidupan. Energinya terkuras sehingga mengalami kesulitan melakukan hal-hal biasa dilakukan, misalnya bangun tidur dan membersihkan rumah, lebih suka menghabiskan waktu sendirian dan merasa terisolasi.

Seorang "schizophren" juga dapat dikenali dengan gejala kognitif, seperti mengalami problem dengan perhatian dan ingatan. Pikiran mudah kacau sehingga tidak bisa mendengarkan musik atau menonton televisi lebih dari beberapa menit, sulit mengingat sesuatu, seperti daftar belanjaan.

Seorang "schizophren" juga cenderung tidak dapat berkosentrasi, sehingga sulit membaca, menonton televisi dari awal hingga selesai, sulit mengingat dan mempelajari sesuatu yang baru.

Gejala kognitif lain adalah miskin perbendaharaan kata dan proses berpikir yang lambat. Misalnya saat mengatakan sesuatu dan lupa apa yang telah diucapkan, perlu usaha keras untuk melakukannya.

Dalam ilmu kedokteran, "schizophrenia" dikategorikan sebagai penyakit neurologi (terkait dengan sistem kerja otak). Pada otak orang orang normal proses penyampaian pesan secara kimiawi (neurotransmitter) akan diproses dan diteruskan secara baik pesan itu ke seluruh fungsi otak.

Pada penderita "schizophrenia" produksi neurotransmitter dopamin berlebihan, sedangkan kadar dopamin tersebut berperan penting pada perasaan senang dan pengalaman mood yang berbeda. Bila kadar dopamin tidak seimbang berlebihan atau kurang maka penderita dapat mengalami gejala positif dan negatif.

Penyebab ketidakseimbangan dopamin ini masih belum diketahui atau dimengerti sepenuhnya. Pada kenyataannya, awal terjadinya "schizophrenia" kemungkinan disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor tersebut.

Faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya "schizophrenia", antara lain terkait dengan sejarah keluarga, berkembang di perkotaan, penyalahgunaan obat seperti amphetamine, stres yang berlebihan, dan komplikasi kehamilan.

Tak hanya kota besar
Kehidupan yang bergulir cepat dengan persaingan ketat, saat ini tidak lagi hanya terjadi kota besar seperti Jakarta namun telah terjadi di semua daerah, termasuk Kaltim.

Hasil riset Kementerian Kesehatan yang menyebutkan bahwa dari tiga juta warga Kaltim yang berusia 15 tahun ke atas, sekitar 200 ribu jiwa terindikasi mengalami gangguan jiwa. Faktor utama antara lain stres karena pekerjaan, ekonomi serta masalah keluarga.

Seorang dokter spesialis kejiwaan di Samarinda pernah mengungkapkan bahwa penderita gangguan kejiwaan di Kalimantan Timur mengalami kenaikan lima hingga 10 persen tiap tahun. Pada 2007 lalu jumlah pasien gangguan jiwa hanya 131 ribu orang namun pada 2010 telah mencapai 150 ribu orang, kata dokter spesialis kejiwaan, Jaya Mualim.

Diperkirakan bahwa jumlah penderita gangguan kejiwaan tersebut, sebagian besar adalah penderita gangguan jiwa ringan yang berada di kawasan perkotaan. Sedangkan penderita jiwa berat hanya sektar 3.000 orang.

Kondisi ini juga diperparah kurangnya minat penderita memanfaatkan fasilitas kesehatan seperti memeriksakan kesehatannya ke dokter dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Selain itu, jumlah dokter spesialis kejiwaan di Kalimantan Timur hanya 10 orang. Padahal idealnya satu dokter berbanding 1.000 orang dengan jumlah penderita yang diperiksa ke dokter angkanya masih berkisar satu sampai lima persen saja.

Direktur Rumah Sakit Khusus Daerah Atma Husada Mahakam atau dulunya dikenal sebagai RSJ (Rumah Sakit Jiwa) Samarinda H. Ardiansyah membenarkan hal itu.

Jumlah psikiater di Kaltim, misalnya, sangat terbatas sehingga memang berpotensi tidak mendapat pelayanan kesehatan dengan baik.

Idealnya, untuk rumah sakit setara RS Atma Husada (tipe A) minimal ada tujuh psikiater. Paling tidak, setiap daerah (kabupaten/kota) memiliki masing-masing satu dokter yang bertugas melayani pasien mengalami gangguan jiwa.

Bisa Sembuh
Sikap masyarakat atau keluarga dalam mendukung kesembuhan penderita juga relatif rendah. Hal itu diakui oleh Ardiansyah. Saat ini sal atau ruangan sering kelebihan daya tampung pasien (overload) selain ada kecenderungan pasien meningkat, ternyata juga karena sejumlah pasien yang sudah dinyatakan sembuh, ternyata tidak diterima oleh keluarganya sehingga jadi beban RSJ untuk menampung mereka.

Kesalahan umum masyarakat yang lain adalah sering mengganggap orang yang mengalami gejala sakit mental sebagai gejala terkena guna-guna, teluh, tenung atau santet. Padahal kian lama mendapat penanganan semestinya, maka upaya penyembuhan kian sulit.

Kenyataannya dewasa ini ilmu kedokteran mengalami kemajuan yang pesat sehingga telah menemukan mekanisme terjadinya "schizophrenia" dan obat-obatan anti-"schizophrenia" sehingga penderita dapat pulih kembali dan dapat kembali menjalani kehidupan yang normal.

Pihaknya berharap agar semua pihak mendukung untuk penambahan jumlah dokter spesialis kejiwaan. Keberadaan psikiater penting bagi masyarakat dalam memberikan pelayanan kesehatan kejiwaan.

Apalagi dikaitkan dengan kondisi saat ini, masyarakat rentan terhadap gangguan kejiwaan akibat tekanan ekonomi yang kian berat terasa.

Paling tidak, masalah yang dianggap sepele namun termasuk dalam gangguan kejiwaan, misalnya rasa cemas tanpa kendali bisa mendapat penanganan lebih awal karena jumlah psikiater memadai.

Ardiansyah mengatakan bahwa langkah-langkah membantu mengatasi gejala skizofrenia, antara lain belajar menanggulangi stres, depresi dan pikiran negatif, serta menjauhi alkohol dan narkoba.

Bantuan dan dukungan orang dekat atau keluarga sangat dibutuhkan untuk mengurangi stres atau depresi.

Ia menambahkan bahwa upaya-upaya untuk mengurangi stres atau depresi berat yang bisa menimbulkan penyakit gangguan jiwa bisa dengan mencari kesibukan bermanfaat di luar pekerjaan rutin yang menyita pikiran, relaksasi serta memperkokoh pengetahuan agama.

Tampaknya, dalam kondisi seperti ini, maka salah satu cara efektif dalam menghadapi berbagai tekanan berat kehidupan yang bisa menyeret setiap orang dalam "pusaran kegilaan" adalah membentengi diri dengan keimanan dan ketaqwaan.

Ya, jawaban agar tidak stres dan despresi menghadapi "dunia kian edan" ini adalah mengembalikan semuanya kepada Sang Pencipta, yang menentukan rezeki, hidup dan mati, kata Ardiansyah.
(I014/T010)

Oleh Iskandar Zulkarnaen
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010