Dengan pola perubahan pasal-pasal dalam Pasal 37, akan membuka ruang bagi pengajuan perubahan pasal-pasal lainnya.

Jakarta (ANTARA) - DPP Partai NasDem menyatakan amendemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 berpotensi membuka kotak pandora yang lain karena UUD merupakan sistem ketatanegaraan.

"Pastinya pasal-pasal saling keterkaitan, dan UUD NRI Tahun 1945 tidak mengenal perubahan terbatas, kecuali dibatasi oleh kebijakan politik perumus UUD sebagai komitmen kebangsaan," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Bidang Hubungan Legislatif Partai NasDem Atang Irawan dalam siaran persnya, di Jakarta, Senin.

Wacana amendemen terbatas UUD kembali menghangat ketika Ketua MPR Bambang Soesatyo bertemu dengan Presiden Joko Widodo.

Pada saat bertemu Jokowi, Bamsoet mengaku menyodorkan perihal mekanisme pembahasan Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945, dan yang kedua pembahasannya akan hal itu dikatakan tidak akan melebar.

Atang memandang perlu melihat mekanisme perubahan UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 37 itu menggunakan pola usul perubahan pasal-pasal. Berbeda dengan sebelumnya bisa mengubah seluruh dokumen konstitusi, misalnya UUD NRI Tahun 1945 diubah oleh konstitusi RIS, kemudian UUD Sementara, lantas kembali ke UUD 1945.

"Artinya, memungkinkan juga dengan pola perubahan pasal-pasal dalam Pasal 37 akan membuka ruang bagi pengajuan perubahan pasal-pasal lainnya. Tidak hanya satu pasal," kata Atang.

MPR ingin ada penambahan ayat di Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945. Penambahan satu ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) serupa dengan GBHN sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945.

Sementara itu, penambahan satu ayat pada Pasal 23 mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.

Atang yang merupakan ahli hukum tata negara ini mempertanyakan ketika Pasal 3 disetujui dan diketok, PPHN itu untuk siapa? Apakah untuk Presiden atau untuk semua lembaga negara.


"Pertanyaan itu mungkin juga akan membuka pasal lain, atau yang kedua bagaimana pelaporannya? Kepada siapa pelaporannya? Kepada MPR? Jika kepada MPR, apakah memakai skema Tatib MPR di sidang 16 Agustus. Di sidang tahunan dengan melaporkan pertanggungjawaban kinerja," kata Atang yang sudah malang-melintang di dunia advokasi ini.

Kalau kinerja Presiden dan lembaga negara tidak sesuai dengan PPHN, terus bagaimana? Kalau biasa saja, kata dia, Pasal 3 itu tidak ada maknanya secara konstitusional karena tidak bisa diikatkan dengan Presiden dan lembaga negara lainnya.

Berikutnya, ketika Pasal 3 itu disahkan, berarti MPR mempunyai kewenangan menetapkan dan mengubah PPHN. Maka, pertanyaan berikutnya berarti semua lembaga negara harus melaksanakannya.


"Kalau tidak melaksanakan bagaimana?" tanya Atang lagi.
Atang justru melihat adanya potensi terhadap pemakzulan. Dalam Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945 mengatur syarat pemakzulan.

Baca juga: Analis: Tak mudah memakzulkan Presiden/Wapres

Baca juga: LaNyalla: DPD RI dukung adanya PPHN

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021