peluang adanya PLTS atap akan menghadirkan sedikitnya dua manfaat bagi konsumen, yaitu mengurangi ketergantungan total pada listrik PLN dan memproduksi listrik yang sisanya bisa dijual untuk menambah pemasukan atau setidaknya mengurangi biaya listrik

Jakarta (ANTARA) - Upaya mendorong penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap secara masif harus memperhatikan empat pihak terkait sebagai pemangku kepentingan yaitu konsumen, industri, PT PLN (Persero), dan negara.

Agar rantai bisnis di sektor ketenagalistrikan ini berjalan lancar dan berkelanjutan, harus ada keadilan untuk semuanya, kata pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies Ali Achmudi Achyak.

Dalam penjelasan yang diterima di Jakarta, Senin, Ali Achmudi mengatakan rancangan Permen ESDM tentang PLTS atap sebagai pengganti Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 harus melibatkan semua pemangku kepentingan.

Apalagi, salah satu klausul dalam draf permen baru tersebut mengatur tata niaga PLTS atap, yaitu mewajibkan PLN membeli 100 persen--dari sebelumnya 65 persen-- sisa daya yang tidak terpakai oleh konsumen yang ikut mengembangkan PLTS atap. “Kita harus mencermati klausul ini dari berbagai sisi,” katanya.

Pertama dari sisi konsumen listrik, khususnya rumah tangga, komersial dan industri. Selama ini mereka menjadi konsumen murni yang menggunakan listrik dari PLN dan membayar sesuai tarif yang berlaku sesuai peruntukan. Kalaupun ada sektor yang bergerak mandiri menyediakan listrik (Independent Power Producers/IPP), jumlahnya tidak banyak.

“Ketergantungan ketiga sektor ini terhadap PLN sangat tinggi maka ketika terjadi gangguan, seperti blackout, kerusakan jaringan, dan lainnya, bisa sangat merugikan. Ketergantungan berlebihan pada satu pemasok listrik ini tentu tidak sehat bagi kelangsungan bisnis,” katanya.

Baca juga: Semakin ekonomis, pengguna PLTS atap diharapkan terus bertambah

Oleh karena itu, menurut Ali, peluang adanya PLTS atap akan menghadirkan sedikitnya dua manfaat bagi konsumen, yaitu mengurangi ketergantungan total pada listrik PLN dan memproduksi listrik yang sisanya bisa dijual untuk menambah pemasukan atau setidaknya mengurangi biaya listrik.

Ali mengatakan pergerakan konsumen murni menjadi konsumen semi produsen (hibrid) ini positif dan perlu didorong dengan memberikan kepastian hukum yang berujung pada kepastian bisnis yaitu sisa listrik akan terjual.

“Dampaknya pasti besar terhadap minat investasi dari sektor rumah tangga, komersial dan industri,” katanya.

Pihak lain yang juga perlu diperhatikan adalah industri atau produsen perangkat listrik, khususnya produsen dan pemasok panel surya dan baterai untuk PLTS atap. Sebagai catatan, PLTS atap ada yang dilengkapi baterei penyimpan daya (biasanya off-grid) dan ada pula yang tidak (terutama yang on-grid dengan sistem PLN).

Menurut Ali, industri bidang EBT (khususnya PLTS atap) juga harus didorong sehingga bisa berkembang dan mampu melakukan inovasi teknologi untuk menghasilkan produk yang andal, efektif dan efisien dalam penggunaan EBT. Sebagai entitas bisnis, pastinya butuh juga kepastian hukum dan terbukanya peluang usaha yang berkelanjutan.

“Di sinilah peran pemerintah mengatur tata niaga PLTS atap yang efektif, implementatif dan berkeadilan. Hal yang harus dihindari adalah monopoli dari industri tertentu yang pastinya tidak sehat dalam jangka panjang,” kata dia.

Baca juga: Guru Besar FTUI: PLTS Atap secara masif bisa ancam sistem kelistrikan

PLN harus dijaga

Pihak ketiga adalah PLN. BUMN di sektor ketenagalistrikan ini adalah aset besar bangsa yang harus dijaga, ditumbuhkan, dan dikembangkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. PLN mengemban dua tugas utama dan mulia, yaitu entitas bisnis (BUMN) dan pelayan publik.

“Sebagai entitas bisnis, PLN harus sehat dan untung agar bisa berkontribusi bagi keuangan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Demikian pula sebagai entitas pelayanan publik, PLN juga harus sehat sehingga bisa melayani masyarakat secara optimal,” katanya.

Oleh karena itu, terkait pengembangan PLTS atap, PLN harus dilibatkan secara aktif menjadi aktor utama dalam pengambilan kebijakan (termasuk penyusunan peraturan, kebijakan harga, pengaturan tata niaga, dan lainnya).

Pihak lainnya adalah negara atau pemerintah. Dalam hal pengembangan EBT sebagai komitmen besar pemerintah terkait bauran energi (energy mix) yaitu target 23 persen EBT pada 2025 (ini sudah lebih kecil dari komitmen awal visi 25/25, yaitu 25 persen EBT 2025). “Maka sangat wajar jika pemerintah ingin mencapai target tersebut di waktu yang tersisa beberapa tahun lagi,” kata dia.

Ali mengatakan semua pihak harus mendukung target pengembangan EBT tersebut, salah satunya pengembangan PLTS atap yang terbukti bisa dikembangkan secara masif dan partisipatif (melibatkan semua rantai bisnis energi listrik yaitu konsumen, industri, PLN dan negara), potensinya cukup besar (sekitar 32 GW), teknologinya semakin ‘mature’ dan ‘proven’.

“Tinggal yang harus dipikirkan adalah aspek keekonomian dan keadilan dalam bisnis sebagai syarat utama keberlanjutan (sustainability),” tegas dia.

Baca juga: Pakar ITB: Regulasi PLTS atap berpotensi tingkatkan tarif listrik

Abra Talattov, Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Institute for Development of Economics and Finance (Indef), menilai target capaian bauran energi memang penting untuk dicapai.

Namun, menurut dia, ada yang lebih penting yakni sejauh mana kesiapan dan rasionalitas dalam mencapai target tersebut. PLN sebagai satu-satunya BUMN kelistrikan jangan sampai mengalami masalah fundamental akibat kebijakan yang tidak tepat.

“Pemerintah harus hati-hati. Ibaratnya orang naik mobil, lalu ngebut malah mogok atau bahkan kecelakaan di jalan. Jadi, harus dipersiapkan secara matang dari sisi teknis dan lainnya,” papar Abra.

Menurut dia, mengembangkan investasi di sektor EBT boleh saja, tapi bukan berarti mewajibkan semuanya harus diserap oleh PLN. Pasalnya, saat ini PLN sudah dalam kondisi oversupply, terutama dengan masuknya sejumlah PLTU dari program 35 ribu MW.

“Di sini, PLN bisa dikatakan sudah berkorban karena harus menyerap listrik dari IPP yang kebanyakan PLTU dan harus mengesampingkan PLTU nya sendiri. Jangan sampai kebijakan yang sama terulang untuk PLTS. Boleh saja menggelar karpet merah investasi untuk PLTS, tapi jangan mengorbankan PLN,” tegasnya.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021