Sementara di sisi agama, terdapat fatwa haram MUI terkait makanan/minuman yang mengandung alkohol

Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol agar dikaji secara komprehensif dengan memperhitungkan aspek agama, sosial, budaya, keamanan, hingga ekonomi.

"Heterogenitas budaya Indonesia penting juga kita perhatikan. RUU ini perlu dikaji secara mendalam. Kita juga perlu melihat hubungan budaya dan ritual keagamaan, sehingga RUU ini dapat merumuskan diktum yang relevan," katanya dalam acara diskusi daring bersama MUI dan sejumlah perwakilan ormas Islam yang dipantau di Jakarta, Kamis.

Wamenag mengatakan kajian mendalam mesti dilakukan agar tidak menimbulkan kesan bahwa RUU ini akan menghapus kebudayaan/kebiasaan di sebagian masyarakat yang telah berlangsung secara turun-temurun.

Zainut mengatakan RUU Larangan Minuman Beralkohol ini juga perlu mendapat landasan filosofis, sosiologis, dan pemenuhan hak asasi manusia.

Ia menekankan perlu ada diskusi lebih lanjut terkait perumusan RUU tersebut dengan kajian pendekatan budaya yang relevan.

Sementara di sisi agama, terdapat fatwa haram MUI terkait makanan/minuman yang mengandung alkohol, sehingga Wamenag meminta agar ditambah ada data lain yang mendukung terkait alasan mengapa RUU Larangan Minuman Beralkohol perlu diatur.

"Sekali lagi perlu diskusi mendalam untuk merumuskan diktum dan klausul yang mendudukkan dengan jelas antara menghormati budaya dalam batas-batas yang jelas," katanya.

Zainut juga memandang soal diksi larangan dalam RUU Larangan Larangan Minuman Beralkoho. Menurutnya tidak masalah apabila diubah menjadi pengaturan, sebab isinya berupa larangan terkait minuman beralkohol.

"Faktanya di mancanegara regulasi minuman beralkohol dan minuman keras juga diatur. Misalnya dibatasi, pembeli dibatasi umur tertentu, peminum dilarang mengemudi, dijual di ruang terbuka, terhindar dari jangkauan anak-anak, dan lain-lain. Sehingga RUU ini bisa kita eliminasi penolakan dari kalangan tertentu yang biasa mengonsumsi sehingga UU Larangan Larangan Minuman Beralkoho bisa kita lanjutkan," kata dia.

Dalam kesempatan itu, Zainut mengapresiasi MUI yang sudah melakukan fungsi kontrol. MUI juga telah membuat Fatwa Nomor 10 tahun 2018 tentang makanan dan minuman yang mengandung alkohol.

"Sudah jelas fatwa ini mengharamkan minuman beralkohol atau etanol atau 'khamr' minimal 0,5 persen. Masalahnya pandangan Islam ini harus diinklonkusifkan sehingga RUU tidak dipandang kepentingan umat Islam semata, tapi juga hal lain," ujarnya.

Sebelumnya, RUU Larangan Larangan Minuman Beralkoho​​​​​​​ masih dalam pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Pembahasan itu masih berlanjut karena masih adanya perbedaan pandangan salah satunya terkait usul perubahan judul di RUU tersebut apakah melarang atau mengatur.

Baca juga: Baleg DPR RI dengar penjelasan RUU Larangan Minuman Beralkohol

Baca juga: Muhammadiyah: Regulasi minuman beralkohol bukan Islamisasi

Baca juga: Wakil Ketua Baleg: Minol rusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara

Baca juga: Pansus DPR RUU larangan minuman beralkohol kunjungi Sulut

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021