Magelang (ANTARA News) - Perjalanan dari kota kecil Muntilan menuju desa-desa di lereng Gunung Merapi di Kecamatan Dukun Merapi, Kamis (4/11) sore itu diselimuti awan kelabu disertai hujan abu yang tiada henti.
Letusan Merapi pada Kamis pagi itu menyemburkan awan panas, pasir, abu, dan material vulkanik lainnya hingga membuat daerah sekitar terasa lebih gelap dibandingkan waktu siang yang sebenarnya.
Arloji baru menunjuk jarum sekitar pukul 14.00 WIB, namun suasana ketika itu terasa menjelang maghrib.
Lumuran abu di semua permukaan benda, seperti rumah, bangunan, pepohonan, jalan, dan mobil di Muntilan menambah muram wajah kota kecil yang sepanjang hari itu tak berlistrik.
Apalagi suara Merapi sore itu masih terus bergemuruh.
Hujan abu basah sepanjang siang hingga hingga sore hari menjadikan semua permukaan tanah, termasuk jalan aspal yang menghubungkan berbagai wilayah di Kabupaten Magelang, terendam lumpur abu hingga beberapa centimeter tingginya.
Pengemudi kendaraan bermotor, termasuk mobil, begitu sulit untuk mengendalikan setir karena selain pandangan mata terganggu baluran abu yang menebal di kaca helm dan kaca mobil, permukaan jalan juga begitu licin.
Puluhan pengendara sepeda motor jatuh tergelincir karena permukaan jalan yang sangat licin. Banyak mobil dengan kondisi rem dan ban yang tidak sempurna, ketika pedal rem diinjak mendadak dalam kecepatan laju 20 kilometer/jam, langsung oleng, memutar 180 derajat di tengah jalan, sehingga mengacaukan pengendara yang lain.
Namun di tengah suasana suram seperti itu, ada pemandangan yang melegakan hati. Sejumlah warga tanpa diminta berada di pinggiran jalan mengingatkan para pengemudi agar memelankan kendaraannya.
Mereka juga langsung menolong ketika ada pengendara sepeda motor yang tergelincir.
Dalam perjalanan dari kota Muntilan ke desa-desa lereng Merapi di Kecamatan Dukun, hujan abu basah terus mengguyur. Tangki air untuk kaca "wiper" cepat habis karena tidak sampai tiga menit kaca mobil sudah gelap tertutup material vulkanik.
Beruntungnya, pengemudi mobil tidak perlu terlalu sering berhenti untuk mengisi air tangki "wiper", sebab di sepanjang jalan menuju lereng Merapi di Kecamatan Dukung, banyak warga atas inisiatif sendiri membantu pengendara.
Di tengah guyuran hujan abu basah, warga di pinggiran jalan tersebut minta mobil dihentikan. Tiga-empat orang mengambil air yang jernih dari selokan lalu mengayunkan ember berisi air ke kaca depan mobil.
"Tidak, Mas. Nggak usah," kata anak muda ketika seorang pengemudi menurunkan kaca jendelanya lalu menyorongkan lembaran Rp2.000.
Sungguh perbuatan yang mencerahkan rasa kemanusiaan. Secerah kaca depan mobil setelah diguyur banyak air.
Dalam perjalanan selanjutnya, kawanan anak muda di tempat lain juga melakukan hal sama, bahkan kali ini menggunakan alat lebih modern. Mereka menggunakan mesin pompa air dan menyemprotkannya melalui selang.
Lagi-lagi jawaban yang keluar dari relawan-relawan jalanan itu juga sama. "Tidak, Pak. Terima kasih," kata seorang dari mereka sambil menggerakan tangan, isyarat mempersilakan pengemudi melanjutkan perjalanan.
Sepanjang perjalanan dari Muntilan hingga Kecamatan Dukun, ada lebih dari 10 kelompok relawan jalanan desa spesialis pembersih kaca mobil. Tanpa ada konsensus, mereka bersikap seragam, menolak uang jasa.
Hal itu berbeda dengan keadaan di kota-kota besar. Ketika jalan tergenangi banjir, misalnya, jangan harap pengemudi bisa lolos dari kubangan jalan bila tidak memberi uang kepada pemandu jalan.
Sebenarnya ideologi uang bukan hanya melanda masyarakat kota. Warga pedesaan juga mengalami gempuran ideologi uang, namun saat terjadi bencana kemanusiaan, nilai-nilai kebersamaan rupanya masih tetap terpelihara.
Maaf, uang, yang menjadi simbol nilai pragmatis, di sini tidak berlaku. Begitu kira-kira gerakan tangan mereka yang menolak uluran uang. Senyum mereka kemudian memberikan ketenangan bagi pengemudi yang masih harus menembus debu dan lumpur.
Berbagi
Rasa senasib dan kebersamaan juga melekat pada warga lereng Merapi di Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Meski Rabu (3/11) petang itu mereka baru saja lari tunggang-langgang menyelamatkan diri dari amukan "wedhus gembel", ke pos pengungsian Keputran, tetap saja ada sesuatu yang ingin dibagi kepada orang lain.
"Ini, Pak, maskernya. Silakan pakai karena Merapi baru saja meletus dan menyemburkan banyak debu," kata Sartono (52) dalam bahasa Jawa, di pos pengungsian Keputran, Kemalang.
Sartono sebenarnya hanya membawa dua masker, yang kalau dilihat dari bahannya, sebenarnya cepat rusak karena bukan terbuat dari kain katun.
Jadi, tanpa menawarkan sekali pun, itu wajar dan benar. Apalagi kala itu persediaan alat penapis udara kotor itu jumlahnya sangat terbatas. Mengapa sartono tetap menawarkan masker kepada orang lain?
"Mangke kula kan pikantuk malih. Nek jenengan kan tiyang tebih," kata Sartono di sudut klinik darurat RS dr. Moewardi di pos pengungsian Keputran. Terjemahannya, "Nanti saya kan dapat lagi. Kalau Anda kan orang jauh."
Kebajikan yang didorong oleh rasa senasib dan kebersamaan juga diperlihatkan oleh Syailendra Persada, mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Diponegoro Semarang.
Mahasiswa berusia 21 tahun ini langsung menuju ke lokasi bencana di daerah Gulon, Muntilan, untuk menjadi relawan. Tanpa menunggu kalkulasi untung rugi, ia langsung menuju lokasi rawan bencana untuk menjadi salah satu bagian tim relawan.
Padahal, mulai 1 November ia seharusnya kerja magang yang bisa memberi tambahan uang saku.
"Saya mohon izin menunda kerja magang. Saya akan ke Merapi menjadi relawan. Mohon doa restunya, Pak," kata Syailendra melalui telepon selularnya.
Tentu saja masih banyak Syailendra, Sartono, dan orang-orang mulia lain yang membagi kebersamaannya meskipun itu tidak selalu harus dinilai dengan sesuatu yang besar.
Kapitalisme yang menjunjung nilai-nilai individualisme memamg kian melelehkan tatanan sosial lama yang bercorak kebersamaan dan harmoni. Namun, dalam setiap bencana, ternyata masih banyak orang yang tetap memelihara kebersamaan, senasib, sepenanggungan.
Francis Fukuyama dalam buku "Guncangan Besar" menilai, kepercayaan di antara sesama kian menipis, di sisi lain praktik kecurangan semakin meluas.
Namun demikian, kata Fukuyama, setelah fenomena itu berlangsung, proses penataan kembali masyarakat akan terjadi.
Mungkinkah tiga bencana besar yang terakhir melanda Indonesia, letusan dahsyat Merapi dan tsunami Mentawai, dan banjir Wasior akan menguatkan kembali nilai-nilai kebersamaan yang terus meleleh?
(A030/A024)
Oleh Achmad Zaenal M
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010