Jakarta (ANTARA News) - Sebuah data menunjukkan bahwa makin banyak anak-anak, mulai usia Balita hingga 20 tahun, melakukan kekerasan terhadap orang tuanya. Data itu menunjukkan bahwa kekerasan tersebut kadang dipicu oleh perpecahan keluarga.
Satu contoh ini terjadi di Inggris tapi mungkin hal serupa bisa terjadi di lingkungan kita. Seorang ibu, Mary Taylor (47) , mengalami kekerasan fisik dari anaknya, Jack, (20) mulai dari pukulan, bantingan ke pintu hingga ancaman pisau di leher.
Saat Jack, yang dulu adalah anak pintar dan patuh, mengancam untuk membunuhnya, Mary menghubungi polisi. Jack akan disidangkan tapi sementara itu dia berkeliaran tak jelas tinggalnya.
"Dia menelefonku sambil menangis dan bilang akan bunuh diri jika saya tidak mencabut pengaduan, tapi 'kan tidak bisa begitu. Aku sayang dia, tapi saya tak bisa suka padanya. Dia membuatku hampir kena gangguan saraf. "
Kasus Mary tidaklah jarang. Laporan lembaga Charity Parentline Plus di Inggris menyebutkan bahwa tak ada kelompok sosial yang kebal dari kecenderungan anak-anak makin kasar kepada orang tuanya.
Dalam dua tahun terakhir di Inggris, lembaga yang menyediakan layanan hotline itu menerima 22.537 panggilan dari orang tua yang menjadi korban prilaku ekstrem anak-anak mereka. Hampir 7.000 di antaranya mengalami kekerasan fisik, sementara 14.000 lainnya mengalami kekerasan verbal.
Anak perempuan maupun laki-laki tak ada bedanya dalam jumlah dan jenis aksi menganiaya orang tua.
Sebanyak 47 persen orang tua tersebut mengalami kekerasan di rumah mereka dan 42 persen dari laporan itu menyebutkan si anak bermasalah pernah menganiaya anggota lain dari keluarga.
Satu dari lima kasus kekerasan kepada orang tua ternyata disertai dengan prilaku minum-minum dan mencuri. Kekerasan terhadap orang tua juga berkaitan dengan tindak pidana, senjata dan ikut serta jadi anggota geng.
Jadi apa yang sedang terjadi? Jeremy Todd, chief executive Parentline Plus, mengakui statistik yang ada memang mengkhawatirkan.
"Kebanyakan orang menganggap remaja memang masa untuk 'meledak-ledak' tapi kami melihat bahwa tingkat agresi mereka sudah jauh melampaui norma," katanya.
"Para orang tua yang mengalami kekerasan oleh anaknya tak boleh diam saja, mereka harus mencari pertolongan, bukan hanya demi kesehatan jiwa mereka, tetapi karena anak yang berprilaku buruk di rumah juga akan melakukannya di sekolah dan, pasti, nantinya berurusan dengan hukum."
Timbul pertanyaan, mengapa begitu banyak anak berprilaku seperti itu?
Todd menyebutkan beberapa alasan, salah satunya adalah banyaknya hiburan yang berisi kekerasan, sebagian di antaranya adalah dari Internet.
Psikolog klinis Dr Rachel Andrew, yang menekuni bidang anak-anak dengan masalah prilaku, juga mengakui adanya trend kekerasan itu dan bahkan kecenderungan itu telah mengikis otoritas orang tua.
"Anak-anak zaman sekarang sangat tahu hak-hak mereka, "katanya. 'Orang tua dan guru selalu khawatir jika tindakan mereka terhadap anak-anak melebihi batas. Kini, ada rasa takut mendisiplinkan anak-anak. Mereka khawatir anak-anak itu bilang 'kalau saya ditindak, saya akan mengadu kasus KDRT."
Dr Andrew mengatakan dua pertiga dari kliennya adalah orang tua yang meminta bantuan atas prilaku nakal anak-anak mereka.
"Saya sudah melihat balita yang meludah, mengucapkan kata-kata kotor, menendang dan memukul. Anak yang lebih besar jauh lebih menakutkan. Jika usianya remaja, mereka sudah terlalu kuat, dan orang tuanya justru kebanyakan lebih sering takut dan tidak berdaya. "
Rasa tak berdaya ini semakin parah dalam keluarga dengan orang tua tunggal. Biasanya si ibu yang harus seorang diri berhadapan dengan agresi anaknya.
Menurut Dr Andrew, anak yang sering mengamuk bisa saja disebabkan karena dirinya berada dalam "lingkaran kemarahan dan penyesalan " dari kejadian masa lalu, seperti perceraian atau meninggalnya orang tua.
"Kekerasan sering merupakan gejala depresi klinis, dan prilaku itu tidak dapat disembuhkan kecuali yang bersangkutan menerima orang tuanya lalu bersama-sama memperbaiki."
Dia memuji ketegaran Mary Taylor yang tetap mengadukan anaknya ke polisi meski ibu itu masih mencintai anaknya. "Sangat penting untuk Mary agar tetap dengan keputusannya. Ini justru peluang agar ibu dan anak itu bisa menempatkan masa lalu di belakang mereka. Setelah kasus ini selesai, yang penting bagi mereka adalah tekad untuk meninggalkan hal yang sudah selesai."
Contoh lain dari ketegaran adalah kasus seorang ibu yang mengalami kekerasan dari anaknya yang berusia 22 tahun dan pencandu Narkoba.
Si ibu mengusir anak tersebut dari rumah. Dua tahun berlalu dan anaknya datang dalam keadaan sudah bebas dari Narkoba. Mereka mulai berbicara lain.
"Kisah mereka adalah bukti bahwa kekerasan yang paling parah sekalipun dapat disembuhkan. Langkah penting pertama adalah mencari bantuan," kata Mr Todd.
"Aib dan malu mungkin jadi penghalang yang kuat, tapi yang lebih penting lagi adalah mengatasi masalah itu sebelum terjadi akibat yang lebih parah."
(A038/BRT)
Pewarta: Aditia Maruli Radja
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010