Jakarta (ANTARA) - Perayaan kemerdekaan Indonesia tahun ini diselimuti dukacita. Hampir setiap keluarga kita pernah mengalami duka beruntun belakangan ini. Banyak keluarga yang kehilangan ayah. Ada yang ditinggal ibu. Demikian pula ada yang bersedih karena kedua mertuanya berpulang. Tak jarang ada yang kehilangan semua anggota keluarganya.
Di bulan yang biasanya kita hadapi dengan ceria ini, kita semua dihadapkan pada kenyataan bahwa pandemik COVID-19 begitu dekat sekali. Sedekat urat leher kita. COVID-19 tak memandang manusia yang diserangnya ahli ibadah atau ahli maksiat. COVID-19 bahkan tak membedakan suku, agama, bahkan, ras. Semua sama di hadapan COVID-19.
Dari dimensi syariat, yang membedakan manusia di hadapan COVID-19 adalah cara kita berhadapan dengan kaidah kasualitas alias hukum sebab akibat. Terdapat manusia yang berikhtiar mencegah penyebaran wabah sehingga menjadi bagian dari solusi di tengah wabah. Sebaliknya ada yang justeru meremehkan pandemik sehingga malah menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Resultannya adalah wafat dalam posisi sebagai bagian solusi. Ada pula yang mati dalam posisi mejadi bagian masalah. Semua adalah rahasia Tuhan.
Baca juga: Museum Siwalima gandeng museum di Belanda rayakan HUT Indonesia
Tentu ada yang selamat melawan virus itu. Statistik menyebut 80 persen penderita sembuh. Dari dimensi hakikat, tak ada yang lebih baik antara mereka yang kembali sehat atau mereka yang harus berpulang selamanya. Semua manusia pada dasarnya 'nglakoni' tugasnya hingga pada waktunya. Mereka yang telah berpulang telah menyelesaikan tugasnya di muka bumi dengan baik.
Manusia yang masih hiduplah justeru yang wajib memetik pelajaran dari tragedi pandemik ini. Sejarah membuktikan manusia yang selamat dari wabah apapun di setiap zaman memiliki kekebalan lebih kuat dari sebelumnya. Mereka memiliki tanggung jawab sejarah melanjutkan kehidupan membangun peradaban manusia dengan kultur yang baru.
Pada skala kecil, terdapat manusia yang bertanggungjawab menopang kehidupan keluarga karena tulang punggung keluarga wafat. Pada skala yang lebih besar ada yang harus menopang kehidupan keluarga besar karena beberapa penopang keluarga inti meninggal. Pada skala yang jauh lebih besar ada profesi-profesi--di segala bidang--yang kehilangan tokoh-tokoh besarnya. Para ulama dan kyai ratusan yang berpulang. Demikian pula dokter, perawat, dosen, guru, dan banyak lagi yang ditinggalkan para tokoh besarnya.
Mereka yang muda dan selamat dari wabah dipaksa sang waktu untuk melanjutkan estafet profesi dan keilmuan di segala bidang. Ulama muda harus segera tampil. Demikian pula dokter, perawat, dosen, dan guru muda harus segera tampil di panggung sejarah. Pada merekalah peradaban dalam melewati pandemik dan pascapandemik bertumpu.
Baca juga: Memaknai "Agustusan" di tengah pembatasan dan keterbatasan
Pada konteks ini terjadi regenerasi besar-besaran di segala bidang yang dapat berujung positif atau sebaliknya. Positif bila anak-anak muda cepat belajar untuk mengambil alih estafet dari mereka yang pergi. Demikian pula dapat berdampak negatif bila generasi muda lambat belajar sehingga terjadi fenomena mata rantai putus pada bidang ilmu tertentu. Bila itu terjadi, maka memulihkannya membutuhkan waktu puluhan tahun.
Pada suasana ini para ahli dan praktisi senior di setiap bidang harus menyiapkan jalur regenerasi yang terbaik di tengah keterbatasan karena pandemik. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) misalnya mengundang para peneliti diaspora di luar negeri dengan kriteria khusus untuk mengikuti tes CPNS. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan program kampus merdeka di setiap perguruan tinggi dengan menggandeng dunia kerja. Ini harus dipandang sebagai terobosan untuk percepatan alih kompetensi antar generasi.
Presiden Joko Widodo menyadari kebutuhan mendesak alih generasi tersebut sehingga baru saja meminta Menteri Kesehatan untuk memikirkan peta jalan alias road map jika pandemik ini harus dilewati bertahun-tahun. Mungkin 3 tahun, 4 tahun, bahkan mungkin lebih dari 5 tahun. Sektor pendidikan formal termasuk yang menjadi prioritas karena terkait peralihan kompetensi antargenerasi.
Prinsipnya adalah bagaimana bangsa ini dapat hidup di tengah virus yang belum dapat dienyahkan dengan tetap produktif. Diksinya adalah hidup berdamai dan hidup berdampingan dengan virus, tetapi substansinya adalah 'perang' dengan membentegi diri kita dengan meningkatkan imunitas dan menerapkan protokol kesehatan. Substansi itu yang tidak boleh diplintir oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Baca juga: Belajar merdeka dari pandemi Covid-19 ala Pancasila
Ibarat sebuah peperangan. Tentu banyak cara menghadapi ancaman musuh. Ketika musuh terlalu besar kekuatannya, maka kita harus menerapkan strategi avoiding alias menghindar. Itulah yang telah kita lakukan dengan menerapkan pembatasan-pembatasan gerak untuk menghindari paparan dengan virus. Strategi menghindar ini banyak dilakukan pada perang di manapun.
Namun, ketika perilaku, kekuatan, dan kelemahan musuh sudah lebih dapat diketahui maka strateginya dapat bergeser. Individu-individu yang telah memiliki kekuatan lebih besar dari musuh, dapat menampakkan diri di hadapan musuh dengan tetap berhati-hati. Sebaliknya yang masih lemah tetap menghindari musuh.
Pada konteks COVID-19, individu yang telah memiliki kekebalan melawan virus berkat vaksin dapat kembali beraktifitas dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Sebaliknya, mereka para lansia yang memiliki penyakit penyerta tetap di rumah untuk menghindari paparan COVID-19 sampai ditemukan cara efektif menangani virus tersebut pada penderita penyakit penyerta.
Tantangan itulah yang dihadapi bangsa ini pada ulang tahun kemerdekaannya yang ke-76. Bila pendahulu kita tantangannya menghadapi penjajah Belanda, Jepang, dan tentara sekutu, maka saat ini tantangan pemerintah adalah membuat road map menghadapi COVID-19. Sementara bagi rakyatnya adalah tetap melaksanakan prokes. Selamat merayakan bulan kemerdekaan.
*) Destika Cahyana, pengurus DPP GEMA Mathla'ul Anwar
Copyright © ANTARA 2021