Jakarta A(NATAR News) - Kepanikan penduduk ketika terjadi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir dan tanah longsor terjadi akibat tidak adanya informasi dan komunikasi yang memadai.
Bahkan, karena alat komunikasi bencana (sistem peringatan dini/early warnning system) tidak berfungsi optimal, tsunami yang meluluhlantakkan Kepulauan Mentawai setelah terjadi gempa berkekuatan 7,7 skala Richter tanggal 26 Oktober 2010 baru diketahui dunia luar (Kepulauan Mentawai) sehari sesudahnya.
Itu pun setelah ada laporan pandangan mata dari wisatawan Australia kepada sebuah stasiun televisi di negara Kanguru itu. Jika ada stasiun radio atau wartawan/koresponden Indonesia di Mentawai yang melaporkan segera peristiwa itu, pasti bencana yang berdampak mengenaskan itu lebih cepat diketahui.
Dampak bencana dapat dikurangi bahkan dihindari jika tersedia informasi yang akurat, tepat, bermanfaat dan terkomunikasikan dengan cepat. Di samping alat komunikasi canggih seperti HP dan internet, yang dapat menyampaikan informasi secara cepat, radio terbukti masih menjadi andalan utama dalam mitigasi bencana, mulai dari peringatan dini, ketika terjadi bencana dan pasca bencana, terutama di daerah-daerah terpencil/tertinggal ketika listrik mati atau bahkan belum tersedia.
Mengapa radio? Karena radio sebagai wahana komunikasi yang murah harganya, mudah untuk mengoperasikannya dan mengaksesnya memang dapat berperan penting untuk mengurangi risiko bencana, bahkan mungkin menghindarinya.
Studio “Pelipur Lara”
Siaran studio tenda "Pelipur Lara", yang dikelola RRI bersama Dompet Dhuafa (DD) di Padang Pariaman pasca-gempa Sumatra Barat, 30 September, 2009, membuktikan itu. Dengan peralatan studio sederhana dan pemancar berkekuatan kecil, tapi dapat direlay dan merelay siaran stasiun RRI Padang dan jaringan berita nasional Pro 3 RRI Pusat, studio tenda itu dapat berperan multi fungsi.
Siaran studio tenda ini berfungsi memberi layanan informasi, pendidikan, hiburan, advokasi, pencerahan dan pemberdayaan bagi korban gempa, baik yang mengungsi di tenda tenda dalam radius layanan studio tenda maupun keluarga mereka yang tinggal di daerah lain dan bahkan di luar negeri.
Tidak hanya itu, studio tenda ini juga melibatkan korban gempa sebagai penyiar dan pengisi acara siaran. Melalui community development programme (program pengembangan masyarakat), angkasawan RRI melatih sejumlah pengungsi menjadi reporter, penyiar dan pengisi acara.
Dan, dengan mudah mereka dapat direkrut karena banyak di antara pengungsi itu yang cerdas dan mempunyai bakat terpendam. Pemberian kesempatan untuk belajar menjadi angkasawan/wati bagi sejumlah pengungsi ini berfungsi ganda, yakni sebagai terapi “pelipur lara” (trauma healing), dan sekaligus pemberian ketrampilan sebagai bekal untuk mendapatkan pekerjaan.
Sebagai bagian dari terapi, menjadi reporter, penyiar dan pengisi acara, misalnya menyanyi dan membaca puisi, yang langsung diudarakan bagi orang yang belum pernah mengalami, bahkan membayangkannya sekalipun , dapat memberi sensasi yang menggairahkan, melupakan atau membebaskan dari beban penderitaan dan memberi harapan.
Apalagi, jika tenaga penyiar dadakan itu menyadari bahwa ia memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai bagian dari aktualisasi diri dan bekal mendapat pekerjaan.
“Radio Gendong”
Gagasan pendirian studio tenda itu berasal dari pengalaman beberapa LSM luar negeri yang dengan serta merta mengoperasikan “radio gendong”, terdiri dari peralatan studio dan pemancar kecil, yang dibawa ke mana-mana dalam dua koper jinjing atau koper beroda, di daerah korban bencana.
Gagasan itu diperkuat ketika saya berjumpa seorang praktisi radio Inggris, Mike Adams, dari jaringan “Heart Line”, dalam Festival Radio Internasional II di Teheran, Iran, Mei 2009. Ia menyampaikan presentasi tentang pengalamannya mengoperasikan “radio gendong” nya itu, termasuk di Aceh, pasca-Tsunami 2004. Kesulitan utama dalam mengoperasikan “radio gendong”, kata Mike, adalah mendapatkan izin frekwensi.
Dari bincang-bincang di Teheran, ia menyatakan akan membuat pelatihan di Jakarta untuk sejumlah LSM. RRI mengirim dua orang sebagai peninjau dalam pelatihan tersebut.
Kemudian, saya jumpa lagi dengan Mike, yang kebetulan juga seorang pandu, seperti saya yang Pramuka, dalam Sidang Umum Asia-Pacific Broadcasting Union (ABU) di Ulaan Bataar, ibu kota Mongolia, akhir September, 2009.
Di luar dugaan, tanggal 30 September 2009 terjadi gempa dahsyat di Sumatra Barat. Sidang Umum ABU menyatakan dukacita atas jatuhnya korban gempa itu dan siap membantu.
Begitu tiba di Jakarta, segera saya terbang ke Padang untuk menemui teman-teman RRI Padang, DD dan Pramuka yang sudah menyelenggarakan siaran “pelipur lara” di studio RRI Padang dan “sekolah ceria” di tenda-tenda pengungsi, yang disiarkan RRI dengan mengoperasikan OB Van (mobil siaran keliling).
ABU memenuhi janjinya untuk membantu korban gempa Sumatra Barat. Direktur Tehnik ABU, Sharad Sadhu, mengirim SMS dan email kepada saya bahwa ia akan segera mengirim sebuah “radio gendong”, produksi ABU yang dikenal dengan nama “radio in box”, yang terdiri dari pemancar, antena dan peralatan studio. Peralatan itu segera kami pasang dan operasikan di tempat pengungsian, di Padang Pariaman, dalam bentuk studi tenda.
Pengalaman dan sukses mengoperasikan studio tenda itu menginspirasi saya dan teman-teman RRI untuk mengadakan mobile emergency radio station atau MERS, yang dapat dioperasikan di daerah-daerah rawan bencana di Indonesia.
RRI merancang, pengadaan sekitar 20 MERS yang siap dioperasikan setiap saat, lengkap dengan timnya yang terlatih. Ini penting mengingat Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam dan atau tapi sekaligus rawan terhadap bencana alam.
Pengoperasian studio tenda di Padang Pariaman sebagai cikal bakal MERS saya presentasikan dalam pertemuan Asia Pacific-Europe Media Dialogue yang diselenggarakan the Asia Pacific Institute for Broadcasting Development (AIBD) di Amsterdam, November 2009 dan mendapat dukungan dari para peserta.
MERS dapat diintegrasikan dalam operasionalisasinya dengan OB-Van. MERS, OB-Van dan stasiun RRI dalam suasana gawat darurat mengundang kerja sama dengan radio swasta dan radio komunitas untuk melakukan siaran bersama secara berjaringan.
Melihat sukses studio tenda, Pemerintah kota Pariaman akhirnya memutuskan untuk menjadikan studio tenda itu menjadi stasiun produksi RRI, yang mulai beroperasi sejak Agustus lalu. Stasiun produksi ini dapat menjadi cikal bakal sebuah stasiun penyiaran suatu saat nanti, bila diperlukan.
Bantuan radio transistor
Menyadari peran penting radio dalam mitigasi bencana, Gubernur Sumatra Barat sejak Gamawan Fauzi (sekarang Mendagri) , Walikota Padang, Fauzi Bahar, dan seluruh jajarannya jika terjadi gempa sejak beberapa tahun segera menjadikan gedung RRI Padang sebagai markas atau kantornya untuk mengendalikan operasi penyelamatan korban gempa.
Melalui RRI Padang, para pejabat pemerintah daerah itu memberi informasi, edukasi, imbauan, hiburan dan pencerahan untuk warga mereka. Gedung RRI Padang, sebuah bangunan kuno, selama ini terbukti tahan gempa.
Belajar dari pengalaman di Padang dan di negara-negara lain yang menggunakan siaran radio dalam upaya mitigasi bencana, saya mengusulkan kepada berbagai pihak, termasuk kepada Ketua MPR RI, Taufik Kiemas, waktu berkunjung ke Padang, agar bantuan untuk korban bencana sebagian dapat diberikan dalam bentuk radio transistor.
RRI dan DD membagikan ribuan radio transistor untuk korban gempa Yogyakarta tahun 2006, sumbangan dari Rahmad Gobel, pimpinan PT Panasonics Indonesia. Radio transistor sumbangan itu dibawa oleh para korban gempa ke sawah dan ladang sebagai sumber informasi dan hiburan.
Radio transistor dua band yang kecil mungil itu ternyata menjadi teman setia dan pelipur lara dalam suasana duka pasca bencana. Ketika tidak ada aliran listrik, maka radio transistor yang dioperasikan dengan dua baterai kecil menjadi pilihan tepat sebagai alat penyampaian informasi, edukasi dan hiburan.
ABU dan AIBD, di mana RRI sebagai anggota aktif, telah merekomendasikan program pengoperasian sistem peringatan dini melalui radio. Rekomendasi ini telah saya sampaikan dan sudah dilaksanakan oleh BKMG dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
Untuk itu, tentu perlu dilakukan program pelatihan bagi awak radio secara berkesinambungan. Yang tak kalah pentingnya adalah penyelenggaraan siaran pendidikan kepada penduduk tentang pentingnya memelihara lingkungan hidup untuk mencegah dampak bencana menjadi lebih parah.
Bukti menunjukkan dampak bencana alam diperparah akibat ulah manusia merusak lingkungan, misalnya membabat hutan dan atau membangun rumah di tempat yang rawan longsor (mungkin karena tiada pilihan lain akibat kemiskinan, rencana tata ruang wilayah yang buruk dan KORUPSI).
Kerusakan alam akibat ulah manusia itu merupakan man-made disaster, yang sering memperburuk dampak bencana alam karena peristiwa alami (natural disaster).
Untuk mencegah terjadinya bencana buatan manusia ini, radio sebagai bagian dari keluarga media massa dapat juga berbuat banyak melalui siaran pendidikan, advokasi, kontrol sosial dan aksi nyata, antara lain melalui penamaman pohon (Green Radio).
Untuk membantu korban Merapi, RRI dan DD kembali mengadakan siaran studio tenda pertama di barak pengungsi, Wukirsari, kemudian berpindah lagi ke tempat yang lebih aman dengan dukungan RRI Yogyakarta. Studio tenda juga dirancang akan dioperasikan untuk korban tsunami di Mentawai.
Agar MERS atau studio tenda dapat mudah beroperasi di daerah-daerah bencana, pemerintah perlu mengalokasikan frekwensi khusus/darurat kepada RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik. (***)
*) Direktur Utama Radio Republik Indonesia (2005-2010).
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010