Palangka Raya (ANTARA News) - Direktur Walhi Kalimantan Tengah (Kalteng), Arie Rompas, mengatakan, proyek Reduction Emission Deforestation and Degradation (REDD) kerjasama Australia dan Indonesia dapat memicu konflik.
"Hal itu dikarenakan tidak tersosialisasikan dengan baik dengan masyarakat sekitar wilayah proyek dan tidak menyebutkan secara pasti tentang hak-hak masyarakat lokal di sekitar kawasan proyek yang mengakibatkan terjadinya potensi konflik di kemudian hari," katanya di Palangka Raya, Kamis.
Menurutnya, Kalteng menjadi salah satu wilayah yang di dorong untuk skema perubahan iklim terutama inisiatif REDD dari kerja sama antar pemerintah maupun inisiatif sektor swasta.
Dimana terdapat kerja sama pemerintah indonesia dengan pemerintah Australia dalam proyek Indonesia-Australia Carbon Patnership (IACP), yang berkomitmen membantu dana sebesar AUD 40juta dan kemungkinan tambahan sekitar AUD 30Juta.
Salah satu proyek ini adalah KFCP (Kalimantan Forest Carbon Patnership) yang terdapat di wilayah Eks Pengembangan Lahan Gambut satu juta hektar di Blok E, dengan luasan 120ribu hektare, ungkapnya.
Kerja sama Australia dan Indonesia terkait perubahan iklim atau skema REDD tersebut, dinilai Walhi sebagai hal yang bukan merupakan solusi perubahan iklim karena hal tersebut merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab negara maju atas aktivitas industrinya.
Arie mengatakan, akar persoalan dari perubahan iklim adalah paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi yang rakus akan energi dan mengekploitasi sumber daya alam untuk pemenuhan industri negara-negara maju.
Disisi lain negara-negara selatan termasuk Indonesia yang memiliki hutan tropis juga ikut menyumbang atas pelepasan emisi karena tingginya degradasi dan deforestasi hutan akibat pengundulan dan kebakaran hutan.
Dia menambahkan, berbagai solusi perubahan iklim mulai dibicarakan, namun sayangnya argumen-argumen yang disampaikan tidak berangkat dari kesadaran dan pengakuan gagalnya model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
"Hal itu menyebabkan ketimpangan yang besar antara negara kaya dengan negara miskin, padahal warga yang rentan atas perubahan iklim merupakan masyarakat miskin yang hidup di pedesaan," terangnya.
Dia menambahkan, hingga saat ini solusi yang dikeluarkan lebih menguntungkan negara maju dan tidak pernah mengarah kepada penyebab utama meningkatnya emisi gas rumah kaca di atmosfer namun dialihkan dengan skema perdagangan karbon.
Dimana itu merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab negara maju dan pihak swasta untuk memperoleh keuntungan dari issue perubahan iklim melalui skema perdagangan karbon.
"Solusi perubahan iklim seharusnya menghargai hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi atas prinsip-prinsip keselamatan rakyat, pemulihan keberlanjutan layanan alam, dan perlindungan produktifitas rakya tanpa menafikan hak-hak yang melekat bagi setiap individu untuk hidup bebas tanpa ancaman tersingkirkan dari tanah sendiri," demikian Arie Rompas. (ANT/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010