Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Indonesia Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus menilai bahwa penjualan saham PT Krakatau Steel (KS) yang harga perdana IPO (Initial Publik Offering) Rp850, per saham, terlalu mahal.

"Kami saat ini menyiapkan tim untuk mengumpulkan data, menilai fakta dan menyimpulkan kondisi Krakatau Steel yang sebenarnya," katanya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis sore.

Terkait polemik harga IPO KS saat ini, Iskandar menyarankan, bahwa lembaga keuangan bukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar tidak membeli saham KS terlebih dulu, sebab cenderung akan merugi dan hal ini akan berpotensi masuk ke dalam dugaan tindak pidana Korupsi yang merugikan keuangan negara.

Dia menyarakan kepada Pemerintah agar tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan terkait IPO KS yang dapat menjadikan masyarakat merasa nyaman untuk berspekulasi.

Selain itu, katanya, pemerintah diharapkan tidak menjual saham KS sebelum dilakukan pembenahan direksi dan kinerja KS sampai kemudian Krakatau Steel memang benar mampu membangkitkan dirinya "go publik".

Sebelumnya, Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (1/11), mengatakan pemerintah telah mencoba mengoreksi harga jual saham itu menjadi Rp950 per lembar dan bahkan Rp1.000, per lembar.

"Namun karena ini keputusan sudah namanya `binding agreement`, tidak bisa diubah lagi. Karena `binding` itu, sehingga berindikasi tidak bagus terhadap bisnis," ujarnya.

Mustafa mengatakan pihaknya telah meminta penjelasan tentang harga saham yang akhirnya dilepas dengan harga Rp850 per lembar itu, yang dikatakan telah melalui proses analisa tersebut.

"Mereka (pihak KS) sudah kita minta untuk menjelaskan itu, dan mereka mengatakan siap mempertanggungjawabkan harga itu," kata Mustafa.

Harga jual yang dinilai beberapa kalangan terlalu rendah itu, menurut dia, belum tentu menimbulkan kerugian karena masih harus menanti reaksi pasar.

Menurut dia, pemerintah pun tidak dapat menunda penjualan saham PT Krakatau Steel yang diperkirakan bisa meraup dana Rp2,6 triliun itu karena bisa dikenakan penalti.

"Nanti saya minta mereka secara transparan dan harus obyektif, harus `fair`, sehingga semua yang mendapat kesempatan bisa beli, akan diaudit," demikian Mustafa.(*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010