"Sudah didirikan pusat trauma "healing" dan tempat konseling psikososial untuk mengatasi anak yang trauma dan depresi pada saat gunung meletus yang kami pusatkan di Magelang, Yogya, Klaten dan akan menyusul di Boyolali," kata Harry di Grand Pasundan, Rabu.
Harry menguraikan untuk di Mentawai penanganan dilakukan berbeda, yakni dengan menginventarisir anak-anak yang terpisah dari orangtuanya, baik meninggal maupun terpisah secara lokasi.
Belajar dari pengalaman pascabencana, pihak Kemensos harus tanggap dan memberikan perlindungan sedini mungkin, untuk mencegah munculnya praktik "trafficking" dan adopsi illegal yang kerap terjadi pada anak-anak korban bencana.
"Sebelum mencarikan "foster care" , kami upayakan dulu untuk mencari orangtuanya atau keluarga anak, karena pengasuhan yang paling tepat adalah keluarga terdekat atau orangtuanya langsung," tambahnya.
Saat ini, Pondok Anak Ceria dikelola oleh 40 orang profesional yang berasal dari kalangan profesional, psikolog, mahasiswa dan relawan yang berkonsentrasi terhadap psiko sosial dan pertumbuhan anak ditengah bencana, guna mendukung dan memahami kebutuhan anak.
"Kami akan terus motivasi anak dan memfasilitasi mereka untuk kembali pada kebahagiaannya, sehingga anak tak harus terlibat dengan stress dan depresi di lokasi pengungsian atau trauma melihat kondisi yang sarat kepanikan," rincinya.
Sementara untuk Mentawai, Kemensos juga sudah memberangkatan satu tim dengan dukungan Unicef untuk memberikan pendampingan dan perlindungan terhadap mereka, namun karena medan menuju lokasi menurutnya jauh lebih berat, alhasil tim yang berjumlah 12 orang tersebut masih banyak upaya yang harus ditempuh guna menghimpun anak-anak yang terlantar secara pengasuhan.
"Bedanya di Kepulauan Mentawai aksesnya penuh tantangan, sehingga kami memberikan pelayanan yang sifatnya penanganan anak pascabencana dengan tingkat kesulitan yang lebih besar lagi," kata Harry. (ANT-225/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010