“Masa tenggangnya berganti jenis perizinan. Kalau risiko tinggi, pasti lebih lama. Kalau yang rendah, satu atau beberapa hari, tapi harus diberi warning,” kata Tauhid kepada Antara di Jakarta, Senin.
Sebelumnya Presiden Jokowi bersama Menteri Investasi Bahli Lahadalia dan Menteri Keuangan Sri Mulyani meluncurkan OSS Berbasis Risiko.
Baca juga: Bahlil pastikan OSS tak ambil kewenangan daerah
Dalam peluncuran tersebut, Bahlil mengatakan pemerintah daerah memiliki waktu 20 hari untuk memutuskan apakah akan memberi izin atau tidak terhadap rencana investasi berisiko tinggi yang masuk ke daerah. Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) investasi yang memiliki risiko tinggi pun telah diatur dalam OSS Berbasis Risiko tersebut.
Karena itu, apabila pelaku usaha telah memenuhi syarat investasi dalam waktu 20 hari, tetapi pemda tidak kunjung memberikan perizinan, sistem akan menyetujui secara otomatis.
Menurut Tauhid, sistem OSS Berbasis Risiko perlu memberikan peringatan keras untuk proses pemberian izin usaha berisiko tinggi yang mendekati deadline. Kalau perlu, pemda bisa diberikan masa tenggang.
Baca juga: Presiden Jokowi ingin Indonesia masuk negara sangat mudah berbisnis
Pasalnya, infrastruktur dan regulasi di beberapa daerah masih menghambat pemda untuk membuat keputusan secara cepat. Di samping itu, beberapa daerah belum memiliki Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) sebagai dasar pengambilan keputusan terkait investasi yang akan masuk ke daerah
“Baru sekitar 70 pemda yang memiliki RDTR, sementara kita memiliki sekitar 500-an pemda tingkat kabupaten dan kota. Yang belum memiliki kan harus menotifikasi juga, daerahnya termasuk hijau, tidak boleh dibangun industri, penyangga lingkungan atau bagaimana,” ucapnya.
Tauhid memandang selama satu tahun penerapan OSS Berbasis Risiko, pemda baru akan melakukan penyesuaian baik dalam birokrasi maupun regulasi. Namun, menurutnya, OSS sebetulnya bukan satu-satunya faktor penentu investasi yang masuk ke Indonesia.
Tauhid memandang dengan atau tanpa OSS Berbasis Risiko, tren investasi yang masuk ke Indonesia sebetulnya bertumbuh, terutama pada sektor jasa karena Indonesia memiliki pasar yang besar.
“Misalnya telekomunikasi, konsumsi kita besar banget di sektor ini. Karena penduduk kita banyak mengkonsumsi, akhirnya meski tanpa OSS, investasi kita ini tinggi selama beberapa tahun terakhir,” ucapnya.
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021