Baghdad (ANTARA News) - Sebelas bom mobil Selasa menggoncang Baghdad, menewaskan sedikitnya 63 orang di tengah kekhawatiran bahwa gerilyawan Sunni mengambil alih kekuasaan yang vakum tujuh bulan setelah pemilu yang tak meyakinkan.

Sekitar 285 lainnya cedera dalam pemboman yang ditargetkan pada permukiman Syiah di ibu kota Irak, beberapa meledak dekat cafe atau restoran, sebagaimana dikutip dari AFP.

Serangan-serangan itu terjadi hanya dua hari setelah orang bersenjata Al Qaida menyerbu sebuah gereja di jantung kota dan menyandera puluhan jemaat, dengan 46 di antara mereka dibunuh dalam satu drama yang berakhir dengan penyerangan yang dilakukan oleh pasukan khusus Irak.

"Enam puluh tiga orang tewas dan 285 luka-luka dalam 11 aksi bom mobil. Semua ledakan itu terjadi di waktu yang sama," kata seorang pejabat kementerian dalam negeri.

Ledakan terbesar terjadi di distrik Kadhimiyah utara dan Husseiniyah timur.

Kementerian dalam negeri segera memberlakukan jam malam terhadap daerah-daerah Baghdad timur, larangan keluar setiap malam yang berlaku di seluruh ibu kota dari tengah malam sampai pukul 5:00 pagi waktu setempat.

Washington dan London mengecam pertumpahan darah baru itu dan berupaya untuk mengobarkan konflik sektarian.

"AS mengecam keras aksi kekerasan yang kita saksikan pada hari ini," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Mike Hammer dalam satu pernyataan.

"Kami percaya bahwa rakyat Irak akan masih menolak upaya-upaya yang dilakukan orang-orang garis keras untuk mengobarkan ketegangan antar kelompok," kata Hammer.

"Serangan-serangan ini tidak akan menghentikan kemajuan Irak. AS berdiri bersama rakyat Irak dan masih berkomitmen bagi kekuatan kita dan lamanya kemitraan kita," katanya.

Menteri Luar Negeri Inggris William Hague mengatakan dalam satu pernyataan: "Mereka bertanggung jawab atas pemboman barbar dan tidak peduli atas masa depan Irak serta penduduknya. Mereka hanya bermaksud memprovokasi ketegangan dan konflik."

Irak tampil tanpa pemerintahan sejak pemilu 7 Maret yang tak meyakinkan, yang dimenangkan tipis oleh kelompok Negara Hukum yang dipimpin Syiah dari Perdana Menteri Nuri al-Maliki kemudian disusul Iyad Allawi yang sebagian besar mendapat dukungan kelompok Iraqiya.

Keduanya terjebak dalam perundingan-perundingan tertutup dengan kelompok-kelompok politik lain, namun tidak mampu mengumpulkan mayoritas yang diperlukan untuk membentuk pemerintah.

Kekosongan kekuasaan menambah meningkatnya rasa ketidakamanan, dan para gerilyawan tampaknya berusaha untuk mengambil keuntungan.

Pemboman Selasa dan serangan-serangan terhadap orang-orang Kristen terjadi pada saat Irak berusaha bangkit kembali setelah invasi pimpinan Amerika tahun 2003, dan pertumpahan darah antar kelompok yang dilanjuti antara mayoritas Syiah serta menumbangkan elite Arab Sunni.

Pemboman terbaru itu memukul upaya-upaya negara untuk menarik investasi dan teknologi asing untuk membangun kembali negara yang porak poranda akibat perang.

Aksi kekerasan di Irak telah merosot drastis sejak pertumpahan darah antar kelompok mencapai puncaknya pada 2006 sampai 2997, namun serangan-serangan masih sering terjadi di Baghdad dan kota besar utara Mosul.

Pada Oktober tampak kekerasan paling sedikit sejak November 2009. Angka yang dikeluarkan oleh kementerian-kementerian pemerintah pekan ini menunjukkan, sebanyak 194 warga Irak tewas bulan lalu, termasuk 53 selama drama sandera pada hari Minggu. Tujuh orang yang tewas adalah anggota pasukan keamanan.
(ANT/A024)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010