Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut sudah membalas somasi Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terkait permintaan untuk menunjukkan bukti-bukti tuduhan mengambil keuntungan dari penggunaan obat Ivermectin.
"ICW sudah membalas somasi Moeldoko pada Selasa, 3 Agustus 2021, jadi jelas keliru kuasa hukum Moeldoko jika kemudian mengatakan belum menerima surat balasan dari ICW," kata kuasa hukum ICW M Isnur dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Pada 30 Juli 2021, kuasa hukum Moeldoko, Otto Hasibuan telah melayangkan somasi terbuka terhadap ICW maupun kepada peneliti ICW Egi Primayogha.
Dalam somasi pertama itu, Otto menyebut bila ICW tidak dapat membuktikan dalam 1x24 jam bahwa Moeldoko terlibat dalam peredaran Ivermectin maka kliennya meminta ICW mencabut pernyataannya dan meminta maaf kepada Moeldoko secara terbuka melalui media cetak dan media elektronik dan jika tidak bersedia meminta maaf secara terbuka maka akan melapor kepada yang berwajib.
Baca juga: Moeldoko bantah tuduhan ICW terlibat dalam polemik Ivermectin
Namun Otto menyebut pihaknya tidak mendapat balasan dari ICW sehingga Otto kembali mengirimkan somasi kedua pada 6 Agustus 2021 kepada ICW. Berbeda dari somasi pertama, menurut Otto Hasibuan bila ICW dalam waktu 3x24 jam tidak dapat memberikan bukti, kliennya tidak akan memproses ICW ke pihak kepolisian tapi hanya meminta agar ICW menarik pernyataannya.
"Dalam surat balasan itu, telah ditegaskan beberapa hal. Pertama, ICW menemukan sejumlah indikasi keterlibatan Moeldoko dalam distribusi obat Ivermectin yang berpotensi terjadinya konflik kepentingan," ungkap Isnur.
Hal ini didasarkan atas relasi bisnis antara anak Moeldoko dengan Sofia Koswara (Wakil Presiden PT Harsen Laboratories, produsen Ivermectin) dalam PT Noorpay Nusantara Perkasa.
"Tidak hanya itu, beberapa pemberitaan juga menyebutkan bahwa Moeldoko sempat meminta kepada Sofia agar izin edar Ivermectin segera diproses padahal pada waktu yang sama, uji klinis atas obat Ivermectin belum diselesaikan," tambah Isnur.
Menurut Isnur, temuan ICW juga merujuk pada informasi yang menyebutkan adanya distribusi Ivermectin oleh HKTI bekerja sama dengan PT Harsen Laboratories kepada sejumlah masyarakat di Jawa Tengah.
Baca juga: Moeldoko kembali berikan waktu 3 x 24 jam untuk ICW buktikan tuduhan
Tak lama berselang, BPOM menegur PT Harsen Laboratories karena telah menyalahi aturan produksi dan peredaran obat.
"Tindakan itu pun dilanjutkan dengan permintaan maaf dari produsen Ivermectin tersebut. Maka wajar jika kemudian masyarakat mendesak adanya klarifikasi dari Moeldoko atas tindakannya terkait obat Ivermectin," ungkap Isnur.
Jawaban kedua perihal ekspor beras antara HKTI dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa.
"Dalam surat balasan somasi, ICW sudah meluruskan bahwa telah terjadi misinformasi. Merujuk pada siaran pers yang tertuang di LAMAN ICW, disebutkan bahwa Himpunan Kerukungan Tani Indonesia (HKTI) bekerja sama dengan PT Noorpay Nusantara Perkasa dalam hal mengirimkan kader HKTI ke Thailand guna mengikuti pelatihan tentang Nature Farming dan Teknologi Effective Microorganism," tambah Isnur.
Baca juga: Otto: Moeldoko siap bertanggung jawab bila ICW tunjukkan bukti tuduhan
Artinya tidak tepat jika misinformasi itu langsung dikatakan sebagai pencemaran nama baik atau fitnah sebab, pernyataan itu bukan mengarah pada tindakan seperti yang dituduhkan Moeldoko dan dapat dibuktikan dengan siaran pers yang telah ICW unggah di laman ICW.
"ICW ingin tekankan bahwa kajian seperti ini bukan kali pertama dilakukan. Sejak ICW berdiri, penelitian, khususnya terkait korupsi politik, memang menjadi mandat berdirinya lembaga ini," ungkap Isnur.
Salah satu metode yang sering digunakan ICW menurut Isnur adalah pemetaan relasi politik antara pejabat publik dengan pebisnis.
"Atas dasar pemetaan itu nantinya ditemukan konflik kepentingan yang biasanya berujung pada praktik korupsi. Maka setiap ICW mengeluarkan kajian, salah satu desakannya juga menyasar kepada pejabat publik agar melakukan klarifikasi," kata Isnur.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021