Klaten,(ANTARA News) - Tangisan Diana meledak ketika Gunung Merapi kembali meletus pada Senin (1/11) pagi, karena pada saat yang sama kedua orang tua bocah 11 tahun itu tengah berada di Desa Balerante untuk mencari makanan ternak.
Tangis Diana makin tak terbendung di antara kepanikan warga di lokasi pengungsian di Desa Bawukan, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Dengan sesenggukan ia mengatakan bahwa ayah, ibu, dan adiknya masih berada di rumahnya yang berada di salah satu desa yang masuk dalam kawasan rawan bencana (KRB) III Merapi tersebut.
"Ayah dan ibu harus merumput untuk sapi ternak kami sejak pagi tadi," katanya terisak-isak.
Diana terus menangis. Tangannya tak terlepas dari ponselnya sambil terus berusaha menghubungi kedua orangtuanya yang belum diketahui kepastian keberadaannya. Beberapa teman Diana kemudian mengelilinginya untuk mencoba menghibur gadis kecil itu dan menenangkannya.
Tak hanya Diana, beberapa orang warga lainnya terlihat sibuk karena mencoba menghubungi keluarga mereka yang masih berada di desa yang berjarak tiga kilometer dari puncak Merapi tersebut.
Kepanikan luar biasa tersebut terjadi sesaat setelah terdengar gemuruh dari arah puncak Merapi sekitar pukul 10.00 WIB. Tak berselang lama, kepulan awan panas hitam pekat mulai menyeruak dari puncak gunung dan mengarah ke timur gunung.
"Merapi meletus kembali!" teriak salah satu warga sambil menunjuk ke puncak gunung yang membuat para warga berbondong menuju lapangan dan memusatkan mata mereka pada Merapi yang makin terlihat kokoh mengepulkan awan panas pekat.
Panik. Para warga mulai diselimuti kekhawatiran. Serta merta, anak-anak pun mulai menangis dan histeris.
"Ratusan warga harus pulang untuk merumput dan memberi makan ternak yang masih berada di kandang rumah mereka," kata Sekretaris Desa Balerante, Basuki.
Sesaat setelah kejadian, tim gabungan relawan saling berkoordinasi dan mengirim dua armada truk untuk segera menjemput ratusan warga di Balerante.
Beruntung, ujar Basuki, angin yang berhembus ke arah timur pada saat awan panas mulai mengepul, membuat awan yang biasa disebut "wedhus gembel" tersebut meluncur menuju Kali Gendol dan tidak menyerang Balerante, Sidorejo, maupun Tegalmulyo.
"Seluruh warga selamat meskipun sempat berlari tunggang langgang menuju kawasan yang lebih aman," kata dia.
Basuki mengatakan sebagian besar warga biasanya meninggalkan barak pengungsian pada pagi hari untuk mengurus ternak sapi maupun kambing mereka.
"Mereka lebih memilih pulang meskipun mengetahui bahaya yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan jiwa mereka," katanya.
Dilematis. Satu kata tersebut disebutkan oleh Penanggungjawab Posko Induk Pengungsian Merapi dari Pemerintah Kabupaten Klaten, Joko Rukminto, ketika ditanya tentang warga lereng yang masih melakukan aktivitas harian di desa-desa yang terletak di KRB III.
"Di satu sisi, ternak adalah harta warga yang harus tetap dirawat setiap hari. Di sisi lain, Merapi masih berstatus awas dan bahaya masih dapat mengancam kapan saja," katanya.
Dia mengatakan pihaknya hanya dapat mengimbau warga agar tidak melakukan aktivitas di radius 10 kilometer dari puncak.
Pemkab, katanya, melalui Dinas Pertanian setempat juga telah menyiapkan posko pengungsian hewan di Desa Dompol dan Desa Bawukan agar warga tidak kembali ke kawasan rawan bencana dengan alasan memberi makan ternak.
Namun, menurut dia, para warga enggan menitipkan ternak mereka di lokasi pengungsian hewan tersebut karena alasan tidak adanya keselamatan dan makanan ternak.
Warga lereng masih terus dihantui oleh aktivitas vulkanis Merapi. Terjadinya letusan pagi ini pun di luar prediksi. Hingga Senin siang, tercatat Merapi telah melalui fase erupsi sebanyak lebih dari 10 kali sejak pertama kali meletus pada Selasa (26/10).
Pihak Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pun masih menetapkan status "awas" pada gunung berapi teraktif di dunia tersebut.
Joko menuturkan, pihak Pemkab hanya dapat meminta setiap warga untuk terus menjaga keselamatan diri dari bahaya Merapi yang hingga saat ini tidak dapat diprediksi.
(ANT202/H-KWR)
Pewarta: Ema Yuliani Utami
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010
amin...