Semarang (ANTARA News) - Susilowati (36), warga Plombokan, Semarang Utara, sibuk memasak rempeyek dengan menggunakan kompor gas di dapur rumahnya.

Sekilas, tidak ada yang aneh dengan kompor gas yang digunakan Susilowati lain.

Tapi begitu diamati dengan seksama, selang gas dari kompor itu ternyata tidak berasal dari tabung elpiji, baik tabung melon yang sering meledak maupun yang warna biru ukuran 13 kg. Kompor itu tersambung dengan paralon penyalur gas yang bersumber dari WC umum.

"Rasa masakan sama, tidak ada bedanya dengan masakan yang menggunakan gas elpiji. Sama-sama enaknya. Silakan mencicipi," kata ibu tiga anak itu sembari menyodorkan hasil masakan.

Wati sudah dapat menikmati manfaat biogas yang berasal dari WC umum, dan tidak ada lagi rasa jijik.

Bahkan ia merasa bersyukur karena merasa aman dan tidak khawatir ada ledakan, seperti yang terjadi pada kasus tabung elpiji.

Biogas dari WC umum disalurkan dengan pipa paralon ke rumah-rumah dan warga cukup menyiapkan kompor gas dan selang yang dihubungkan dengan paralon berisi biogas.

"Kalau menyalakannya, kran dari paralon diputar. Besar kecilnya api dapat diatur dari kompor. Tidak berbahaya untuk anak-anak karena kalau menyalakan harus dengan menggunakan api. Jadi dinyalakan dengan korek api terlebih dahulu," katanya.

Murah
Bagi Wati, tidak hanya aman yang didapat ketika menggunakan biogas dari WC umum, tetapi dia merasakan harganya yang murah.

Satu bulan biaya yang dikeluarkan untuk gas itu hanya Rp15 ribu, bisa memasak apa saja tidak perlu khawatir gas habis.

Sementara jika harus menggunakan tabung elpiji ukuran tiga kilogram, satu tabung harganya Rp14 ribu dan habis dalam waktu seminggu. Jika sebulan dibutuhkan anggaran Rp48 ribu.

Ana Kristianti (34), juga warga pengguna biogas WC umum, mengaku awalnya dirinya enggan, karena ada kesan menjijikkan. Akan tetapi setelah dirinya menggunakan gas itu, ternyata tidak ada keluhan.

"Saya sudah satu tahun menggunakan biogas yang berasal dari WC umum. Awalnya jijik, akan tetapi hasil makanan tidak terpengaruh. Tidak bau dan hasil masakannya tetap enak," katanya.

Ana mengaku dengan menggunakan biogas dari WC umum dirinya bisa menyisihkan uang yang seharusnya untuk membeli elpiji bisa digunakan untuk keperluan yang lain.

"Dengan biogas dari WC umum lebih hemat dan tidak berbahaya," katanya.

Mereka mengaku untuk mempertahankan nyala api yang bagus dari kompor gas, kompor harus dibersihkan minimal seminggu sekali untuk mencegah terjadinya kerak, karena kerak pada kompor dapat menyumbat nyala api sehingga api menjadi kecil.

Fenny (23), warga yang belum mendapatkan saluran biogas dari WC umum, merasa tertarik. Berdasarkan cerita warga yang sudah menggunakan biogas dari WC umum terlihat lebih hemat dan aman.

"Kalau sebulan hanya membayar Rp15 ribu, tentu lebih hemat. Akan tetapi, saya belum mendapat saluran biogas. Kalau ditanya ingin, ya ingin, kan bisa lebih hemat," katanya.

Swadaya masyarakat
Untuk dapat menikmati biogas dari WC umum tersebut, tidak begitu saja diperoleh.

Akan tetapi warga membutuhkan perjuangan mulai dari berkompetisi dengan daerah lain untuk mendapatkan bantuan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) BORDA Jerman, pemerintah pusat, dan pemerintah kota setempat.

Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Sanimas Plombokan Sejahtera Bambang Muktiono menceritakan, untuk mendapatkan nilai lebih, warga harus menjawab pertanyaan konstribusi yang disumbangkan warga untuk program sanitasi tersebut.

Selain alasan banyak warga yang tidak memiliki WC sehingga harus buang air ke sungai, warga menyatakan siap untuk menyediakan tanah untuk tempat pembangunan wc umum. Bambang menjelaskan bahwa jika warga tidak menyediakan tanah, maka tidak mendapat bantuan.

Usai survei, akhir tahun 2006 sudah disepakati dilakukan pembangunan dan pelatihan KSM. Pembangunan berlangsung enam bulan dan baru dapat dioperasikan pada Mei 2007.

Awalnya biogas dari WC umum tidak dapat dimanfaatkan langsung dan perlu ditambah dengan mengunakan kotoran hewan sebagai upaya memancing gas setelah tinja tersedia dengan cukup.

"Untuk memancing gas, kami menggunakan 60 karung kotoran sapi dengan per karungnya berisi 50 kilogram. Jika tidak dipancing dengan kotoran sapi, tidak bisa karena tidak ada bahan," katanya.

Awalnya tidak langsung disalurkan ke rumah warga. Setelah keluar api, warga sekitar harus membawa peralatan masak seperti panci atau alat masak lainnya dan memasak di ruang jaga WC umum.

"Di daerah lain, seperti di Bustaman, Bandarharjo, dan Kebunharjo juga ada WC umum yang menghasilkan biogas. Di tiga tempat tersebut jika warga ingin memasak, maka memasak di ruang jaga," katanya.

Bambang mengaku dirinya kemudian memiliki inisiatif untuk menyalurkan biogas ke rumah.

"Inisiatif tersebut saya sampaikan ke LSM dan warga sekitar yang kemudian disambut positif. Sekarang sudah satu tahun berjalan dan baru di Plombokan yang berhasil menyalurkan biogas ke rumah-rumah," katanya.

Baru empat kepala keluarga (KK) yang mendapat saluran biogas dari WC umum tersebut. Bambang berharap tingkat kesadaran masyarakat sekitar dapat buang air besar di WC umum meningkat sehingga biogas yang dihasilkan akan lebih baik dan jumlah KK yang merasakan manfaat biogas menjadi lebih banyak.

"Masalahnya, masih ada warga yang enggan buang air besar di WC umum karena harus membayar Rp500 dan mereka memilih gratis membuang air besar di sungai," katanya.
(N008/s018)

Oleh Nur Istibsaroh
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010