Jakarta (ANTARA) - Pengamat Migas Pri Agung Rakhmanto mengatakan kebijakan penurunan karbon perlu memperhitungkan nilai investasi industri migas yang masuk ke Indonesia, mengingat industri tersebut masih menjadi penopang dan penggerak ekonomi nasional, sehingga cetak biru kebijakan penurunan karbon tidak kontraproduktif terhadap investasi migas.
"Kata kuncinya bukan pada adanya kebijakan net zero carbon (balancing emission), tetapi seberapa kondusif dan kompetitif iklim investasi hulu migas kita untuk dapat menarik investasi eksplorasi dan produksi,” kata Pri Agung dalam keteranganya di Jakarta, Kamis.
Pendiri ReforMiner Institute itu mengungkapkan perusahan migas dunia telah memasukkan parameter netralitas karbon sebagai salah satu faktor yang diperhitungkan dalam strategi dan portofolio investasi.
Mereka lebih selektif dalam mengalokasikan investasi ke negara-negara yang tidak saja memberikan jaminan pengembalian investasi lebih tinggi, investor friendly, tetapi juga yang secara infrastruktur baik ekonomi dan non-ekonomi sudah lebih siap untuk memfasilitasi kebijakan netralitas karbon.
"Indonesia harus kompetitif dalam hal iklim investasi. Segala bersifat memberikan persepsi negatif di mata investor dan menghambat investasi, seperti birokrasi perizinan maupun kondisi yang over-regulated mesti dihilangkan," ujarnya.
Baca juga: IESR: Pertumbuhan ekonomi harus selaras dengan ketahanan iklim
Pemerintah telah menetapkan target produksi minyak bumi sebesar 1 juta barel per hari dan 12 miliar kaki kubik per hari gas bumi (BSCFD) pada 2030.
Sejumlah kalangan menilai angka itu masih kurang bila dibandingkan dengan kebutuhan energi di masa depan. Aktivitas percepatan proses dari reserves menjadi produksi hingga eksplorasi sejumlah cekungan yang belum dieksplorasi guna menemukan sumber migas perlu dilakukan segera.
Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Fatar Yani Abdurrahman mengungkapkan target tersebut punya banyak tantangan mulai investasi besar, regulasi tumpang tindih, stagnasi lifting migas sepanjang satu dekade terakhir, hingga pandemi COVID-19 yang turut mempengaruhi industri hulu migas.
Dia menambahkan industri migas juga mendapat tekanan dari target penurunan emisi karbon sebesar 29 persen pada 2030.
Alhasil Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) harus bisa menyeimbangkan antara target produksi dengan target penurunan emisi karbon agar bisa memenuhi persyaratan kebijakan dekarbonisasi.
"Saat ini sebanyak 60 persen lapangan migas di Indonesia sudah mature, sehingga perlu biaya yang tinggi. Beberapa lapangan migas juga memproduksi karbon cukup tinggi," ujarnya.
Baca juga: Menteri ESDM: Perlu kebijakan fiskal menarik investasi hulu migas
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021