Jember (ANTARA News) - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary menyatakan setuju jika gubernur dipilih oleh DPRD, wacana sebuah perubahan sistem politik yang belakangan hangat diperbincangkan.
"Secara resmi KPU belum mengambil sikap atas wacana itu, namun secara pribadi saya mendukung wacana pemilihan gubernur oleh DPRD," kata Hafiz disela acara seminar nasional tentang pemilu dan pilkada di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu.
Menurut dia, beberapa alasan yang disampaikan Mendagri dan DPR terkait dengan keterbatasan anggaran cukup wajar karena biaya pilkada di tingkat provinsi cukup besar.
"Kami pernah membicarakan hal itu dengan Mendagri, namun secara resmi KPU akan membahas lebih lanjut karena belum ada aturan tentang pemilihan gubernur oleh DPRD " tuturnya menjelaskan.
Alasan dukungannya terhadap wacana itu adalah gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah, sedangkan otonomi daerah tetap berada di kabupaten/kota di Indonesia.
Selanjutnya biaya yang dikeluarkan untuk pilkada di tingkat provinsi cukup besar dan masyarakat menjadi terkotak-kotak di sebuah provinsi yang berdampak pada stabilitas di daerah.
"Persaingan antar kandidat di tingkat provinsi yang melibatkan walikota atau bupati yang maju sebagai calon gubernur dapat memunculkan persoalan baru, sehingga wacana pemilihan gubernur oleh DPRD adalah solusi yang tepat," paparnya.
Saat ditanya nasib KPU Provinsi, Hafiz mengatakan, KPU di tingkat provinsi tetap ada sebagai koordinator KPU kabupaten/kota di provinsi setempat.
"Tugasnya sebagai penyelenggara pilkada di tingkat provinsi memang tidak ada, namun KPU provinsi memiliki kewajiban untuk koordinasi dengan KPU di daerah," tegasnya.
Hal tersebut berbeda dengan pendapat hakim Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar menanggapi wacana pemilihan gubernur oleh DPRD.
"Demokrasi memang membutuhkan biaya yang cukup mahal dan lebih baik jangan terburu-buru untuk mengubah sistem demokrasi," kata Akil.
Menurut dia, proses demokrasi pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung masih berjalan beberapa tahun dan Indonesia masih membutuhkan waktu lebih lama untuk belajar demokrasi secara langsung.
"Idealnya beajar demokrasi langsung membutuhkan waktu selama 15 tahun, sehingga semua pihak harus memberikan dukungan terhadap pembelajaran demokrasi secara langsung itu," paparnya.
(ANT-070/S026)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010