Jakarta (ANTARA News) - Juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan bersujud kepada Yang Maha Pencipta ketika menemui ajal pada Rabu (27/10) seraya berserah diri dan berbekal penuh satu energi dari tirakatan Jawa.

Dia membungkuk dengan tangan, lutut, dan kepala menyentuh tanah sebagai simbol bahwa raga hendak kembali kepada bumi.

Tersapu oleh suhu panas membara dari energi ajaran Jawa, "Aja sira lunga, yen tan weruh ingkang pinaran. Aja sira nganggo, yen tan weruh ingkang dienggo!" (Jangan kamu pergi, jika kamu tak tahu mana tujuanmu. Jangan kamu menyandang, jika kamu tak tahu apa yang kamu sandang!), Mas Penewu Suraksohargo ingin "kembali".

Lahir di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, pada tahun 1927, Mbah Maridjan bersujud dengan raga dan pikirn takzim di hadapan misteri tak berhingga. Ia merebahkan diri sampai seluruh tubuh dan hati menyentuh tanah. "Aku ini abu dan akan kembali menjadi abu".

Abu melambangkan awal dan akhir kehidupan. Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, sarat abu memutih dengan pemandangan daratan luluh lantak diterjang awan panas dari erupsi Gunung Merapi.

Surat-surat kabar pun menulis dengan menggunakan tinta hitam "Indonesia Bersedih" (Harian Kompas), dan "Memilukan...(Media Indonesia). Dan, sebuah stasiun televisi nasional mengajak berdoa kepada seluruh warga Indonesia (Pray for Indonesia).

Puing rumah terhampar dan bangkai hewan terdampar di Dusun Kinahrejo. Suhu awan panas terpapar mencapai 600-1.000 derajat celsius meluncur dari kawah Merapi dengan kecepatan 60 kilometer per jam menyapu dusun dan menewaskan sejumlah orang, termasuk Mbah Maridjan.

Insan bersama flora dan fauna dalam vitalitas Merapi seakan mewartakan bahwa Bumi ini sungguh misteri yang menggetarkan dan menggelorakan. Terjadi semburan abu vulkanik dan kerikil saling menyusul dalam erupsi eksplosif Gunung Merapi, Selasa (26/10) pukul 18.10.

"Erupsi kali ini lebih besar dari tiga erupsi sebelumnya," kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono. Semburan abu vulkanik dan kerikil merupakan ciri erupsi eksplosif gunung berapi.

Fenomen Merapi ini menggenapi kredo bahwa waktu itu maju dan memuncak. Waktu tidak dapat kembali (irreversible).

Merapi yang bergelora, merapi yang digdaya meski kini meminta korban puluhan jiwa seakan menyeret kontemplasi manusia bahwa zaman sudah sampai pada usianya yang tua (zaman wis teka titi wanci tuwa). Manusia terus diburu waktu untuk bersegera memohon jawaban yang serba pasti (maneges).

Sementara, Mbah Maridjan dengan kredonya merespons seluruh alam ciptaan dengan menerima segala kemalangan bahkan kematian tanpa menyalahkan siapa pun, termasuk Tuhan. Manusia tidak layak mengutuk atau mengeluh, karena manusia sejatinya berasal dari abu dan akan kembali menjadi abu.

Budayawan Sindhunata menulis dalam buku Petruk Jadi Raja, bahwa Gunung Merapi bisa memuntahkan api yang menghanguskan dan mematikan manusia. Namun, Gunung Merapi memberi hidup dan rejeki berupa pasir dan tanah subur. Dalam air dan api, ada berkah sekaligus malapetaka.

Kalau manusia mau menerima rejeki yang diberikan oleh air dan api, ia dituntut sanggup hidup dalam resiko karena air dan api. Menolak hidup dalam resiko membuat manusia menjadi pemarah, pengeluh, pengutuk dan tak mau bertanggung jawab. Inilah kredo Mbah Maridjan.

Ketika merespons tentang bencana banjir dan longsor di mana-mana akibat ulah manusia, ia mengatakan, ”Meski diberi sebanyak apa pun, manusia akan merasa kekurangan karena kekurangan itulah kebutuhan manusia”.

Ia menulis dalam jejaring sosial facebook, "Mbah masih merasa kerasan tinggal di Dusun Kinahrejo Cangkringan Sleman Yogyakarta, sambil berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Bagi yg sudah diminta pemerentah untuk mengungsi, mbok ya patuh ya... Mohon dengan sanget."

Saat Gunung Merapi berubah status menjadi awas pada 25 Oktober 2010, Mbah Maridjan pun menolak mengungsi. “Lha saya di sini (di rumah) kerasan. Nanti kalau ada tamu ke sini malah kecele kalau saya pergi,” kata Mbah Maridjan saat ditemui di kediamannya.

Ia memegang teguh tanggungjawab sebagai juru kunci dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando dari beliau untuk mengungsi. Mbah mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1970. Jabatan sebagai juru kunci lalu ia sandang sejak tahun 1982.

Ketika Gunung Merapi meletus pada 2006, imbauan pemerintah daerah dan bujukan aparat keamanan agar Mbah Maridjan turun mengungsi tak dihiraukan. Bahkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X telah mengatakan agar perintah pemerintah dipatuhi.

"Biarpun saya jadi Sultan, saya tunduk kepada keputusan pemerintah," kata Sultan saat Merapi meletus pada April 2006, sebagaimana dikutip dari laman Tempo.Com. Dan Mbah Maridjan menyatakan, "Setiap orang punya tugas sendiri-sendiri. Wartawan, tentara, polisi punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap di sini".

Imbauan yang meneguhkan setiap pengungsi agar mau bertanggungjawab atas hidupnya diutarakan oleh Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta Brigjen Polisi Ondang Sutarsa Budhi.

"Pokoknya kalau diminta turun ya turun sajalah, kondisi darurat dan mendesak, tidak usah memikirkan harta benda ataupun hewan ternak. Yang penting warga itu mematuhi perintah pasti aman," katanya.

Dalam hening bening, dalam mosaik tanggungjawab kepada hidup, Mbah Maridjan bersujud sebagai isyarat hendak berkomunikasi antara raga dan pikiran.

Intipati kredo Mbah Maridjan, "Berhentilah sejenak. Mampirlah minum. Dan rebahkanlah egomu."
(A024/ART)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010