Jakarta (ANTARA) - Kabar duka datang dari Ibu Kota Jakarta pada Selasa 3 Agustus 2021 ini, setelah tersiar kabar wafatnya mantan Menteri Dalam Negeri sekaligus Gubernur DKI Jakarta periode 1992-1997, Jenderal TNI (Hor) (Purnawirawan) Soerjadi Soedirdja.
Baca juga: Anies: Almarhum Soerjadi Soedirdja disiplin dan pekerja keras
Istri almarhum, Sri Soemarsih mengabarkan bahwa Sang Gubernur DKI yang tenar dengan moto "Jakarta Teguh Beriman" tersebut menghembuskan nafas terakhirnya saat akan memasuki usia 83 tahun karena terbaring sakit di Rumah Sakit Mayapada Jakarta Selatan sekitar pukul 10.35 WIB.
Jenazah almarhum disemayamkan di rumah duka, Jalan MPR 2 Nomor 8 A Gaharu, Cilandak Barat, Jakarta Selatan.
Ucapan bela sungkawa tak henti berdatangan usai kabar meninggal Soerjadi tersebar, salah satunya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mendoakan Gubernur DKI Jakarta era orde baru itu.
"Innalilahi wa inna ilaihi rajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, Bapak Surjadi Soedirdja, Gubernur DKI Jakarta periode 1992-1997. Segenap jajaran Pemprov DKI Jakarta mengucapkan duka cita yang mendalam atas kepulangan beliau," kata Anies Baswedan di Jakarta, Selasa.
Bahkan Anies juga menginstruksikan seluruh jajaran Pemprov DKI Jakarta dan keluarganya serta mengajak umat Islam umumnya untuk mengadakan Shalat Ghaib pada gubernur yang berdedikasi itu.
"Dedikasi beliau selama ini dalam membangun Jakarta akan terus terpatri di dalam ingatan kita semua," ucap Anies.
Anies mengenal Soerjadi sebagai sosok yang disiplin dan pekerja keras dengan latar belakang, serta tempaan menjadi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Sama halnya, Wali Kota Jakarta Barat Uus Kuswanto menyebutkan Soerjadi sebagai orang yang baik dan panutan selama memimpin Ibu Kota karena berjiwa sederhana dan bijaksana.
"Almarhum orang baik, jujur, sederhana, dan bijaksana," Uus mengisahkan.
Rencananya, Almarhum akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan pada Selasa sore ini.
Baca juga: Mendiang Soerjadi Soedirdja sosok sederhana dan bijaksana
Kenangan
Banyak kenangan yang datang dari Gubernur DKI Jakarta ke-10 ini untuk Jakarta, mulai dari merealisasikan ide hunian vertikal, yakni rumah susun (rusun), pembangunan berbagai jalan tol, hingga mimpi untuk menghadirkan "subway" atau kereta bawah tanah di ibu kota.
Soerdjadi yang lahir di Batavia (nama Jakarta pada era kolonial) pada 11 Oktober 1938, berkarier sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 1992 hingga 1997 usai menuntaskan jabatannya sebagai Asisten Sospol ABRI (1990-1992).
Pada masa kepemimpinan Soerjadi, pembangunan masif dilakukan di ibu kota Jakarta.
Sadar akan terus berkembangnya penduduk ibu kota, namun lahan yang ada terbatas akhirnya saat masa kepemimpinan dia membuat proyek hunian vertikal berupa rumah susun pada beberapa tempat yang tersebar di Jakarta.
Salah satu rusun yang dibangun pada masa kepemimpinannya, adalah Rumah Susun Bendungan Hilir (Benhil), Jakarta Pusat, yang masih bisa dilihat hingga hari ini.
Dengan pembangunan rusun di berbagai tempat, Soerjadi mengharapkan pihak Pemprov DKI Jakarta bisa mempertahankan bahkan menambah kawasan hijau dan resapan air untuk mengantisipasi ancaman banjir.
Selain soal infrastruktur dan lahan hijau, transportasi juga menjadi perhatiannya yakni inisiasi proyek kereta api bawah tanah (subway), jalan susun tiga (triple decker) yang sempat didengungkan, hingga yang paling terasa adalah membebaskan jalanan Jakarta dari transportasi konvensional, yakni becak.
Pembebasan jalan di Jakarta dari becak yang telah dimulai sejak periode gubernur sebelumnya, yaitu Letjen TNI (Purn.) Wiyogo Atmodarminto (Bang Wi), dituntaskan oleh Soerjadi karena dinilai menyebabkan kekumuhan dan keruwetan lalu lintas.
Akhirnya, Pemprov DKI Jakarta kala kepemimpinan Soerjadi mencetuskan untuk pembangunan subway sebagai transportasi kota modern dan membangun banyak jalan layang (flyover), termasuk jalan susun tiga (triple decker).
Akan tetapi proyek kereta api bawah tanah (subway) dan jalan susun tiga (triple decker) yang sempat didengung-dengungkan pada masanya memimpin, belum terwujud.
Baca juga: Soerjadi Soedirdja wafat
Selain itu, Soerjadi juga memberlakukan Sistem Satu Arah (SSA) pada sejumlah ruas jalan.
Kemudian, untuk mendukung laju mobilitas penduduk, Jakarta pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pihak swasta membangun sejumlah jalan tol, yaitu Tol Dalam Kota, Tol Lingkar Luar, Tol Bandara, serta ruas tol Jakarta-Cikampek, Jakarta-Bogor-Ciawi, dan Jakarta-Merak, yang menghubungkan Jakarta dengan kota-kota di sekitarnya.
Hal lain yang tak luput dari perhatian Soerjadi adalah karakter budaya Betawi yang mulai luntur setelah kepemimpinan Ali Sadikin (Bang Ali).
Meski lahir di Batavia dengan garis keturunan asal Banten, Soerjadi membuktikan kecintaannya terhadap budaya dan sejarah kota kelahirannya, yakni Jakarta dengan memproduseri film "Fatahillah".
Soerjadi juga melakukan terobosan di lingkup internal pemerintahan DKI Jakarta dengan membuat peningkatan disiplin dan kualitas (profesionalisme) sumber daya aparat dalam Lima Pedoman Kerja Aparat Pemerintah DKI Jakarta.
Dalam melaksanakan pembangunan di Jakarta, Soerjadi meluncurkan Rencana Strategis (Renstra 1992-1997) Pembangunan DKI Jakarta.
Sembilan sasaran menjadi prioritas Renstra itu, yakni pengendalian kependudukan, penanganan permukiman kumuh, pembinaan sektor informal, peningkatan pelayanan kepada masyarakat, pembinaan aparatur, peningkatan penerimaan daerah, kebersihan, kesehatan lingkungan dan penghijauan, lalu lintas dan angkutan umum, serta keterpaduan pembangunan sosial kemasyarakatan.
Dari program tersebut, Pemerintah Provinsi Jakarta menerima Penghargaan "Samya Krida Tata Tenteram Karta Raharja".
Penghargaan itu merupakan apresiasi atas hasil karya tertinggi dalam melaksanakan Pembangunan Llima Tahun.
Selama menjabat sebagai Gubernur DKI, sosok Soerjadi Soerdirdja sangat dihormati oleh semua kalangan. Sikap tegas dan galaknya menjadikan ia sebagai panutan bagi semua orang.
Di bawah kepemimpinannya, Jakarta sebagai daerah aman tergambar melalui moto Jakarta Teguh Beriman.
Banyak pihak menganggap karakter Ibu Kota ini merupakan cerminan dari pribadinya yang bersih.
Disebut takut terjerumus dalam praktik-praktik kotor yang merugikan masyarakat, Soerjadi bahkan menolak untuk diangkat lagi sebagai Gubernur DKI oleh Presiden kala itu, yaitu Soeharto.
Sayangnya karir Soerjadi sebagai Gubernur DKI sedikit ternoda dengan adanya insiden penyerangan Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, pada 27 Juli 1996 yang kemudian dikenal publik dengan peristiwa "Kudatuli" atau Peristiwa 27 Juli.
Setelah melepas jabatan Gubernur DKI, karier politik Soerjadi Soedirdja tak padam.
Ia dipercaya menjadi Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada periode 1999-2001, serta Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) 2000-2001.
Adapun Berikut latar belakang pendidikan Soerjadi Soedirdja:
- Akademi Militer Nasional (1962)
- Seskoad (1974)
- Pendidikan militer di Prancis (1974)
- Seskogab (1979)
- Lemhannas (1991)
Karier:
- Kasdam IV Diponegoro Jawa Tengah (1986-1988)
- Pangdam Jaya (1988-1990)
- Asisten Sospol ABRI (1990-1992)
- Gubernur DKI Jakarta (1992-1997)
- Menteri Dalam Negeri (1999-2001)
- Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan (2000-2001)
Baca juga: Sandiaga jenguk Soerjadi Soedirdja
Selamat Jalan Sang Pelopor Ibu Kota.
Editor: Taufik Ridwan
Copyright © ANTARA 2021