Yogyakarta (ANTARA News) - Gunung Merapi (2.965 mdpl) di perbatasan wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah tidak pernah berhenti menunjukkan keanehan dalam aktivitas vulkaniknya.

Gunungapi yang termasuk paling aktif di dunia ini, sejak 25 Oktober 2010 pukul 06.00 WIB status aktivitas vulkaniknya dinaikkan dari "siaga" menjadi "awas". Namun, di puncaknya belum terbangun kubah lava baru, bahkan api diam pun belum tampak.

Biasanya, dengan status "awas", Merapi sudah membangun kubah lava baru di puncaknya, dan api diam selalu tampak sebagai pertanda magma sudah keluar ke permukaan puncak gunung. Tetapi, sekarang ini tidak. Meskipun, deformasi atau pemekaran (penggembungan) di badan bagian puncak gunung terus terjadi.

Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono mengatakan sampai saat ini belum terbangun kubah lava baru di puncak Merapi.

"Selain belum terbentuk kubah lava baru, saat ini api diam juga belum terlihat," katanya saat memantau perkembangan aktivitas vulkanik Gunung Merapi di pos Pengamatan Gunung Merapi (PGM) Kaliurang, Sleman, Minggu (24/10).

Ia mengatakan jika ada warga masyarakat yang melaporkan telah melihat api diam di puncak Merapi, pihaknya tidak akan memberikan komentar. "Saya berbicara berdasarkan data perubahan yang setiap saat tercatat di pos-pos pemantauan Merapi," katanya.

Pihaknya juga belum bisa memastikan apakah gunung ini akan meletus ecara eksplosif atau tidak, karena kalau Merapi akan erupsi secara eksplosif, tanda-tandanya adalah terjadi penggembungan badan gunung di semua sisi.

"Saat ini penggembungan hanya terjadi di bagian selatan, dan berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi, saya hanya bisa pastikan bahwa kondisi Merapi tidak akan kembali ke normal, dan akan meletus," katanya.

Surono mengatakan dari data yang ada, gempa vulkanik yang terjadi saat ini lebih banyak dibandingkan dengan aktivitas pada 2006.

Gunung Merapi pernah meletus eksplosif saat erupsi pada 1930 dan 1931 dengan memuntahkan material vulkanik serta terjadi luncuran awan panas sejauh sekitar 15 kilometer.

"Bahkan saat itu hujan abu akibat letusan eksplosif Gunung Merapi mencapai Madura dan Malang, Jawa Timur," katanya.

Sementara itu, dari catatan aktivitas Gunung Merapi, pada 2006 juga menunjukkan keanehan dalam aktivitas vulkaniknya.

Keanehan tersebut yakni ketika pada Selasa 13 Juni pukul 11.00 WIB Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menurunkan status aktivitas gunung ini dari "awas" menjadi "siaga", karena pertimbangan menurunnya aktivitas terutama awan panas dan kegempaannya, tetapi pada Rabu 14 Juni pukul 15.00 WIB dinaikkan lagi menjadi "awas", setelah terjadi awan panas besar secara beruntun dengan jarak luncur maksimum tujuh kilometer.

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta menaikkan lagi ke status "awas", karena awan panas terus menerus terjadi yang sebagian besar mengarah ke hulu Kali Gendol

(lereng selatan), dan bisa mengancam permukiman penduduk.

Keanehan aktivitas Merapi ini tampaknya sepadan dengan sebutan gunungapi paling aktif di dunia, dan aktif hampir sepanjang tahun.

Bahkan pada 1990-an Gunung Merapi oleh para ahli gunungapi di seluruh dunia dijadikan sebagai pusat laboratorium alam bagi ilmu vulkanologi.

Selama ini, letusannya menjadi karakter khas tipe letusan Merapi yang menjadi referensi letusan gunungapi setipe di dunia.


Empat hari "waspada"

Gunung Merapi yang berada di empat wilayah kabupaten yaitu Sleman (DIY), Magelang, Boyolali dan Klaten

(Jateng) ini, pada 23 September 2010 status aktivitas vulkaniknya dinaikkan dari "aktif normal" menjadi "waspada". Kemudian pada 21 Oktober naik lagi menjadi "siaga", dan empat hari kemudian yaitu sejak 25 Oktober 2010 pukul 06.00 WIB meningkat menjadi "awas".

BPPTK Yogyakarta memutuskan untuk menaikkan status Merapi dari "siaga" menjadi "awas" pada Senin

(25/10). BPPTK mengirimkan surat pemberitahuan secara resmi tentang peningkatan status aktivitas vulkanik gunungapi ini ke sejumlah pemerintah daerah di sekitar Merapi.

Berdasarkan surat yang diterima Pemerintah Kabupaten Sleman, BPPTK menyatakan bahwa Gunung Merapi dinaikkan statusnya menjadi "awas" sejak pukul 06.00 WIB.

Atas peningkatan status tersebut, masyarakat yang berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III harus mengungsi ke tempat yang aman.

Kepala BPPTK Yogyakarta Subandriyo mengatakan masyarakat yang berada di kawasan itu harus mengungsi saat status Merapi sudah mencapai level IV atau "awas".

Jumlah penduduk yang tinggal di kawasan tersebut diperkirakan mencapai sekitar 40.000 jiwa yang tersebar di Kabupatan Sleman, Kabupatan Klaten, Kabupatan Magelang dan Kabupatan Boyolali.

Peningkatan status Merapi itu dengan berbagai pertimbangan, di antaranya peningkatan deformasi gunung yang telah mencapai 42 centimeter per hari, dengan gempa "multiphase" (MP) atau gempa permukaan sekitar 500 kali.

Data pada Minggu (24/10) hingga pukul 12.00 WIB aktivitas seismik gunung ini menunjukkan terjadi 90 kali guguran, gempa MP 290 kali, gempa vulkanik dalam tiga kali, dan gempa vulkanik dangkal 36 kali.

Di Kabupaten Sleman (DIY), evakuasi terhadap warga masyarakat yang tinggal di KRB III mulai dilakukan sejak pukul 07.00 WIB.

Bupati Sleman Sri Purnomo meminta warganya untuk bersedia mengungsi ke tempat yang aman, dan terus meningkatkan kewaspadaan.


Dikhawatirkan berubah arah

Perkembangan aktivitas seismik Gunung Merapi yang mencolok dari saat ketika berstatus "siaga" menjadi "awas", menimbulkan kekhawatiran arah letusan akan berbeda dengan 2006, atau berubah arah.

"Kekhawatiran itu apabila letusan Merapi eksplosif, dan arah letusan berubah," kata Kepala BPPTK Yogyakarta Subandriyo, di Yogyakarta, Senin.

Menurut dia, kekhawatiran tersebut muncul karena perkembangan aktivitas seismik yang ditandai dengan peningkatan gempa "multiphase" (MP), gempa vulkanik, dan guguran sudah cukup tinggi, namun sampai sekarang belum muncul api diam di puncak yang menandakan bahwa magma sudah sampai di permukaan gunung.

Sementara itu, perubahan arah letusan juga dimungkinkan dari semula ke selatan, yakni masuk ke hulu Kali Gendol, menjadi ke barat menuju hulu Kali Kuning dan Kali Boyong.

Subandriyo mengatakan deformasi yang cenderung mengarah ke selatan belum bisa menjadi penanda bahwa letusan Merapi akan ke selatan.

"Apabila arah letusan menuju ke hulu Kali Kuning atau Kali Boyong, akan menimbulkan banyak kerugian karena di bawah hulu kali tersebut ada sumber air, permukiman warga, dan tempat wisata," katanya.

Sementara itu, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sukhyar juga mengatakan kekhawatirannya terjadi letusan eksplosif, karena selama 30 tahun terakhir letusan Merapi selalu ditandai atau didahului dengan pembentukan kubah lava baru di puncaknya.

"Tetapi sampai sekarang kubah lava itu belum terlihat, padahal parameter kegempaan sudah mengalami peningkatan yang sangat signifikan," katanya.

Berdasarkan data seismik yang terpantau di BPPTK Yogyakarta pada Senin (25/10) hingga pukul 12.00 WIB telah terjadi 148 kali guguran, 395 kali gempa MP, dan 94 kali gempa vulkanik.

"Kekhawatiran ini tidak dimaksudkan untuk menakuti masyarakat, tetapi menjadi pengetahuan agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan atas seluruh kemungkinan terburuk," kata Sukhyar.

BPPTK Yogyakarta telah mengeluarkan rekomendasi agar seluruh pemerintah daerah di sisi selatan-tenggara dan barat daya Merapi segera mengungsikan warganya yang bermukim dengan jarak 10 kilometer dari puncak Merapi, serta menghentikan seluruh aktivitas masyarakat di sejumlah sungai di kawasan kaki gunung ini seperti Kali Bebeng, Krasak, Bedog, Boyong, Kuning, Gendol, dan Kali Woro. (MA/M008/K004)

Oleh Oleh Masduki Attamami
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010