Jakarta (ANTARA) - “Ini bentuk balas budi saya kepada alam, saya ingin memberikan balasan berupa menjaga selalu kelestariannya,” tutur Suparno Jumar, orang yang paling akrab dengan Sungai Ciliwung.
Kebiasaan uniknya adalah menyusuri sungai Ciliwung beserta jalur cabangnya dari pagi hari hingga menjelang petang. Bukan sekadar jalan-jalan, namun Suparno membersihkan sampah-sampah yang ada di sepanjang aliran sungai Ciliwung.
Latar belakang ia melakukan hal tersebut adalah di mana kenangan masa kecilnya yang akrab bermain dengan sungai menjadikan hal tersebut menjadi balas budi bagi lingkungan. Masa kecilnya tinggal di Purworejo dengan air masih dalam kondisi bersih.
“Saya main dan mandi sering di sungai, namun sekarang tidak bisa, karena kondisinya kotor,” katanya.
Hal itulah yang mendorong dasar dari keinginannya untuk mengembalikan kembali fungsi sungai, meski ia sekarang ia tinggal di daerah yang berbeda dari masa kecilnya.
River Defender atau penjaga sungai, begitulah ia menyebut dirinya dengan bangga, meski tidak banyak orang mau melakukannya.
Pada dasarnya selain membersihkan sungai, hal rutin yang ia lakukan adalah memberikan penyuluhan dan informasi kepada masyarakat yang tinggal di bantaran sungai.
Penyuluhan yang dimaksud adalah pemahaman mengenai pentingnya peran sungai bagi kehidupan, manfaat sungai bagi keseimbangan lingkungan dan peran sungai dari mencegah berbagai bencana.
Tindakan nyata yang dilakukan antara lain membuat larangan membuang sampah di sungai dan juga kegiatan rutin bersama warga untuk membersihkan sungai dengan konsep kerja bakti melalui perangkat desa yang wilayahnya dilalui jalur sungai Ciliwung.
Suparno sendiri sebelumnya merupakan seorang karyawan swasta di suatu perusahaan dengan gaji dan keuangan yang stabil. Namun, kondisi nyaman tersebut ia tinggalkan dan memilih menjadi River Defender.
“Pendapat keluarga? Ya, pasti tidak sepakat, Mas. Bahkan banyak yang menghujat saya. Sudah enak, malah memilih melakukan hal yang tidak berguna, begitulah kira-kira gambaran pendapat keluarga dan kerabat saya,” kata Suparno dalam perbincangan di Podcast Antara.
Menurutnya, mendapatkan dukungan dari keluarga adalah hal tersulit yang harus ia lalui hampir setiap hari. Meskipun, pada akhirnya keluarga membiarkannya menjadi seorang penjaga sungai.
Baca juga: Permukiman warga di Kebon Pala kebanjiran akibat luapan Kali Ciliwung
Baca juga: Tiga individu berang-berang dilepasliarkan di Sungai Ciliwung
Tantangan
Tidak mudah untuk menjadi aktivis lingkungan, khususnya River Defender, menurut Suparno. Tantangan utama adalah kondisi lingkungan Sungai CIliwung yang menurutnya sudah kadar parah di mana sampah banyak dan sudah mulai susah untuk dibersihkan satu per satu.
Membutuhkan keterlibatan banyak pihak untuk benar-benar memfungsikan kembali fungsi sungai di beberapa titik, agar keseimbangan alam kembali terjaga.
Ia menjelaskan kesadaran masyarakat banyak yang belum terbentuk, bagaimana bencana besar yang mengerikan bisa terjadi jika sungai tidak berfungsi secara maksimal.
“Banjir, adalah hal yang lumrah bila sungai rusak. Tapi ketahanan pangan, adalah bencana yang lebih besar jika aliran sungai dan kualitas sungai sudah tidak bisa diandalkan. Bayangkan berapa lahan pertanian dan perumahan tidak mendapatkan pasokan air dari aliran sungai,” ujarnya.
Selain hal teknis kondisi sungai, hal mengerikan kerap ia temukan saat menyusuri sungai, yang paling ia takutkan adalah Suparno kerap menemukan jasad bayi diantara sampah-sampah sungai.
Bayi yang kondisinya masih baru lahir tersebut kerap dibuang oleh orang tua tidak bertanggung jawab di aliran sungai begitu saja.
“Saya beberapa kali menemukan bayi, sudah meninggal, di aliran sungai yang tersangkut, itu hal yang mengerikan menurut saya, sebab manusia telah menjadi makhluk yang jauh lebih kejam daripada hewan. Hewan tidak meninggalkan sampah, apalagi membuang bayinya,” ujarnya penuh emosi.
Atas kegigihannya melalui berbagai tantangan dalam merawat kebersihan sungai, Suparno kerap diajak pemerintah kota dan daerah untuk menjadi pembicara dan memimpin beberapa proyek pelestarian lingkungan, bahkan pernah diajak ke luar negeri untuk belajar bagaimana cara mengelola naturalisasi sungai.
Terkait dengan kondisi sungai sendiri, pemerintah memiliki data yang mencengangkan. Pejabat Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (Ditjen PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan 59 persen sungai di Indonesia masih dalam kondisi tercemar berat.
“Kalau dari data yang sudah saya rekap tahun 2020, kondisi cemar berat dari 564 titik tadi itu ada 59 persen tercemar berat. Tapi yang kondisinya cemar sedang 26,6 persen, terus cemar ringan 8,9 persen,” kata Direktur Pengendalian Pencemaran Air Ditjen PPKL KLHK Luckmi Purwandari.
Ia mengatakan walaupun 59 persen sungai di Indonesia masih tercemar berat, tetapi saat ini telah mengalami perubahan kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan tahun 2015 yang memiliki tingkat sungai tercemar berat sebesar 79,5 persen.
“Kalau kita lihat trennya dari 2015 hingga tahun 2020, yang kondisi cemar berat ini semakin menurun jumlahnya. Ini artinya, terjadi perbaikan kualitas air di Indonesia. Jadi pada tahun 2015 itu yang cemar berat sebanyak 79,5 persen sekarang sudah jadi 59 persen jadi mengalami perbaikan,” kata dia menjelaskan kondisi sungai-sungai tersebut saat ini.
Luckmi mengungkapkan sungai di Indonesia banyak tercemar oleh limbah kegiatan industri seperti migas dan pertambangan, limbah rumah tangga, dan peternakan. Limbah inilah yang menjadi penyebab biota-biota di aliran sungai tidak dapat hidup, karena kekurangan oksigen.
“Biota itu ada tumbuhan ada hewan kecil gitu, ya. Pada intinya makhluk hidup di sungai butuh oksigen. Kalau sungai itu tercemar atau buruk, kandungan oksigennya itu menurun. Tentu kehidupan biota tersebut juga terganggu,” kata Luckmi.
Dengan adanya perubahan kualitas air sungai saat ini, Luckmi mengatakan biota-biota yang sebelumnya hampir menghilang telah muncul kembali. Ada dua hal yang dilakukan dalam pengendalian pencemaran sungai, pertama adalah pengendalian limbah baik rumah tangga hingga industri.
Kedua adalah mengendalikan jumlah debit air yang mengalir, dengan harapan mampu memberikan respons positif atas kondisi kerusakan lingkungan.*
Baca juga: Pentingnya kearifan lokal untuk mitigasi bencana
Baca juga: Anies tanam pohon di TMB Gintung peringati Hari Air
Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan9
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021