Jakarta (ANTARA News) - Krisis Ekonomi Global yang melanda bisnis diseluruh dunia, diawali dari pusat saham Amerika Serikat ( Wall Street ), berimbas ke Indonesia, memang tidak dirasakan secara langsung, namun pasti bahwa Indonesia akan terkena dampaknya, mengingat beberapa negara tujuan ekspor Indonesia ke (Amerika Serikat, Uni Eropa ) sudah menurunkan permintaan/atau tidak memberikan order sama sekali. Jika situasi ini berlangsung terus-menerus, maka tidak ada pilihan lain bahwa pihak perbankan harus mengevaluasi asset/tanah/gedung yang dijaminkan debitur, juga harus mengevaluasi jika melakukan eksekusi. Keluarnya Undang-Undang No: 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang pada awalnya Pasal 20 ayat 1 UUHT untuk memberi kepastian hukum bagi Kreditur/Lembaga Keuangan Perbankan dan Non Perbankan, serta Debitur, ternyata pada pelaksanaan banyak masalah, eksekusi tidak mudah dilaksanakan, bahkan beberapa lembaga pemerintah menolak/tidak berani melaksanakannya. Alasannya adanya Putusan Mahkamah Agung No:3021/K/Pdt/1984, tanggal 30 Januari 1986 menyatakan bahwa parate eksekusi yang dilakukan berupa meminta persetujuan Pengadilan Negeri meski didasarkan pada pasal 1178 (2) KUH Pdt adalah perbuatan melawan hukum dan lelang yang dilakukan adalah batal. Hal ini menjadi masalah bagi Kreditur karena pada saat Debitur wanprestasi maka pihak Kreditur tidak langsung mengeksekusi UUHT, harus menempuh prosedur yang panjang, dan ujung2nya biaya tinggi. Masukan dari beberapa kalangan perbankan swasta/BUMN tidak bisa langsungnya eksekusi hak tanggungan menyebabkan biaya tinggi dan menjadi prosedur hukum yang berliku serta lama. Karena dengan melakukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan melalui pengadilan, setelah Ketua Pengadilan melakukan pengumuman, maka jika terdapat pihak yang keberatan atas eksekusi dapat melakukan verzet/perlawanan, jika diterima, maka eksekusi akan diproses seperti perkara biasa. Grosse Akta Hipotik? Menungutip Hasil seminar yang diselenggarakan Ikatan Alumni Undip Th 1990, di Jakarta, tentang Lembaga Grosse Akta Hipotik, berkesimpulan antara lain: "bahwa kekhawatiran kalangan perbankan, dengan tidak bisa dilakukan langsung Grosse Akta dengan beberapa alasan; adanya Fatwa Grosse Akta oleh Mahkamah Agung No: 147/168/86/II/Um-TU/Pdt tanggal 1 April 1986 dan Penjelasan Mahkamah Agung No:213/229/05/II/Um-Tu/Pdt tgl 16 April 1985 surat MA ditujukan kepada Soetarno Soedja dr Kantor Pengacara Gani Djemat & Partners bahwa MA mempunyai alasan tidak dilaksanakan karena adanya penegasan pendapat MA mengenai fatsal 224 RID(HIR) dalam suarat MA No:133/154/86/II/Um-Tu/Pdt tgl 18 Maret 1968 kepada Direksi BNI 46, bahwa jumlah hutang debitur haruslah pasti. Pada akhir seminar kalangan perbankan menginginkan kepastian hukum yang memberikan jaminan pada kalangan perbankan, serta mengharap adanya peraturan baru sehingga bisa dilakukan eksekutorial pada saat debitur wanprestasi. Keluarnya UU No:4 Th 1996 tentang Hak Tanggungan, yang pada awalnya oleh praktisi hukum, Prof Budi Harsono bahwa hak tanggungan sangat melindungi Debitur, Kreditur, perlu dipertanyakan. Setelah berjalan hampir 12 tahun UUHT terdapat beberapa kendala dengan parate Hak Tanggungan, ada kemiripan tentang tidak dapat dilaksanakannya parate Hak Tanggungan sesuai Keputusan Mahkamah Agung, alasannya juga mirip-mirip dengan grosse akta beberapa tahun silam, tentunya kalangan perbankan akan bertanya apa bedanya dengan Parate Hak Tanggungan?. Upaya hukum apa yang harus dilakukan? Agar mendapatkan kepastian hukum, harus ada upaya untuk menjaga kepastian hukum agar masalah kredit macet (bad debt) yang membuat bank tidak sehat harus dilakukan terobosan dan tentunya pengawas perbankan harus memprakasai problem “gunung es” tersebut. Inilah masalah yang banyak ditunggu oleh kalangan perbankan dan debitur. Semoga masalah itu dapat selesai pada awal tahun baru ini.(*) #Penulis adalah Peneliti pada Lembaga Pengkajian Studi Hukum ( LPSH-HILC) & Dekan FH Usahid Jakarta.

Oleh Oleh St Laksanto Utomo#
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009