Gyeongju, Korea Selatan (ANTARA News/AFP) - Amerika Serikat memenangkan dukungan G20 Sabtu untuk mengatasi keluhan tentang ketimpangan perdagangan dan pada saat itu juga negara industri terbesar dunia itu bersumpah hendak menghindari balas-membalas devaluasi mata uang.
Sesudah pembicaraan sepanjang malam antar para pejabat senior negara-negara G20, para menteri keuangan G20 menandatangani kesepakatan di Korea Selatan untuk "menahan diri dari berkompetisi mendevaluasi mata uang" untuk mengarah pada "sistem nilai tukar yang ditentukan pasar".
Menteri Keuangan Korea Selatan Yoon Jeung-Hyun mengatakan pertemuan dua hari G20 telah mengubur kekhawatiran "perang mata uang" antara para pemberi pinjaman yang sedang bermasalah seperti Amerika Serikat dan kekuatan ekspor seperti China.
Hasilnya akan "mengakhiri masalah mata uang yang kini kontroversial", katanya pada konferensi pers, sementara mengakui bahwa G20 "sangat sulit" mencapai kesepakatan.
Dalam sebuah pernyataan, para menteri keuangan berjanji akan "menjalankan sepenuhnya serangkaian kebijakan yang kondusif untuk mengurangi ketimpangan berlebihan dan mempertahankan ketimpangan neraca berjalan pada tingkat yang berimbang".
IMF mendapat kewenangan lebih besar untuk menyupervisi komitmen G20. IMF ditugasi mengumpulkan laporan periodik yang akan menginvestigasi bagaimana kebijakan ekonomi sebuah negara dapat menghancurkan mitra dagang.
Ketua IMF Dominique Strauss-Kahn mengatakan para menteri keuangan G20, secara paralel, telah mencapai kesepakatan "sangat bersejarah" dalam memperbaiki pengawas keuangan yang berbasis di Washington dengan memberi suara lebih besar kepada China dan kekuatan emerging lainnya.
Melalui kesepakatan tersebut, yang telah bertahun-tahun diupayakan, Eropa sepakat untuk memberikan dua kursi dalam dewan IMF untuk mengakomodasi negara-negara berkembang. Brazil, Rusia, India dan China kelak semuanya akan masuk ke dalam 10 besar para pemegang saham IMF.
G20 juga menandatangani kesepakatan regulasi lebih ketat terhadap perbankan dan perusahaan keuangan besar yang dipersalahkan karena memicu krisis ekonomi global, menaikkan jumlah modal kualitas terbaik yang harus bank simpan dalam cadangan untuk menghadapi hari hujan.
Menteri Keuangan AS Timothy Geithner datang ke Korea Selatan dengan rencana untuk negara-negara yang mengelola surplus neraca berjalan besar agar mengubah kebijakan nilai tukar mata uang mereka, dan negara-negara defisit agar mereka mengambil tindakan sendiri untuk menyeimbangkan kembali pertumbuhan.
Menyasar surplus neraca berjalan China yang besar sekali merupakan cara tidak langsung Washington mempersuasi Beijing mengendurkan belenggu ketat terhadap yuan dan memperbolehkan apresiasi mata uang tersebut.
Namun, banyak pasar emerging curiga bahwa Amerika Serikat secara sengaja memperbolehkan dolar tak terkendali supaya negara itu dapat mengekspor jalan kembalinya ke kemakmuran.
Geithner, yang harus menuju China Minggu untuk pembicaraan ekonomi, membarui dukungan AS bagi "dolar yang kuat" dan mengatakan diperlukan "apresiasi bertahap" mata uang negara surplus perdagangan utama.
Menurut kantor berita China Xinhua, Menteri Keuangan Xie Xuren berjanji di Korea Selatan bahwa Beijing akan "melanjutkan peningkatan konsumsi domestik sebagai bagian dari upayanya untuk menyeimbangkan kembali ekonominya dalam lima tahun mendatang".
Namun Xie juga mendesak "negara-negara mata uang cadangan utama agar mengambil kebijakan ekonomi yang bertanggungjawab", sementara dolar merosot karena perkiraan the Fed akan melancarkan pelonggaran moneter yang lebih berani lagi.
Geithner menyarankan agar anggota G20 memberlakukan batas tertentu untuk surplus atau defisit neraca berjalan mereka -- empat persen dari produk domestik bruto.
Tetapi tidak ada target angka diberikan dalam pernyataan akhir. Menteri Keuangan Prancis Christine Lagarde mengatakan G20 sepakat bahwa tak "perlu mendesakkan langkah-langkah tersebut menggunakan pentungan yang tak mengenakkan".
Pasar keuangan yang nerves mencari pendirian yang kuat dari para anggota G20 menghadapi kebijakan mata uang yang menguntungkan dengan mengorbankan yang lain, menjelang pertemuan puncak 11-12 November di Seoul.
"Saya pikir kesepakatan agaknya akan terarah pada peredaan kekhawatiran pasar terhadap perang mata uang," kata Marco Annunziata, ekonom kepala Unicredit Group di London, kepada AFP.
"Namun apakah dampak positifnya bertahan lama, akan bergantung pada apakah kebijakan nasional pada kenyataannya diubah supaya selaras dengan kesepakatan tersebut," katanya memperingatkan.
"Jika tidak maka hal ini akan dipandang sebagai pernyataan kosong prinsipiil."
Menyusul krisis keuangan terburuk dunia sejak 1930an, sebuah kebijakan moneter AS yang super longgar menghantam dolar, menjurus pada mata uang kuat yang tak menyenangkan bagi ekonomi G20 lainnya.
Jepang, Korea Selatan, Brazil dan Indonesia antara lain melakukan intervensi secara sepihak dalam beberapa minggu belakangan untuk menahan kenaikan mengkhawatirkan mata uang mereka, yang merugikan perusahaan ekspornya.
Tetapi dalam ekonomi dunia yang sangat terintegrasi, "tanggapan tak terkoordinasi akan menjurus pada hasil yang lebih buruk bagi siapapun", negara-negara G20 setuju. (ANT/K004/TERJ)
Penerjemah: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010