"Kita tentu saja menginginkan jangan sampai terjadi, BI saya kira tidak ingin terjadi `currency war`, karena tidak menguntungkan bagi negara manapun," ujarnya saat ditemui di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, permasalahan ini tidak bisa diselesaikan secara sendiri-sendiri dan tiap-tiap negara perlu melakukan dialog serta penyamaan sikap dengan negara lain.
"Permasalahan yang kita hadapi sekarang tidak bisa diselesaikan satu per satu negara. Jadi barang kali Indonesia perlu bersama negara berkembang lain menyatukan langkah dan sikap agar jangan sampai melakukan perang nilai tukar," ujarnya.
Menurut dia, seluruh Asia perlu bersama menyikapi permasalahan yang bermula dari keengganan China untuk memperkuat Yuan, apalagi keseluruhan Asia saat ini menghadapi situasi sama yaitu masuknya aliran modal masuk (capital inflow).
"Tidak bisa diselesaikan satu persatu negara. Karena masalahnya Asia secara keseluruhan menghadapi guncangan atau shock yang sama, masuknya capital inflow. Jadi harus dihadapi bersama," ujar Halim.
Sementara, Head of Office or Regional economic Integration ADB Filipina Iwan Jaya Azis menambahkan tiap-tiap negara saat ini perlu melakukan koordinasi nilai tukar untuk meredakan ketegangan akibat perang nilai tukar mata uang.
"Sekarang sejauh China tidak mau mengubah nilai tukar, tensi mengenai nilai tukar tetap tinggi. Namun China masih `reluctant` (ragu) memperkuat Yuan, karena ekspornya bisa kalah dengan negara berkembang. Kecuali, negara-negara lain melakukan hal yang serupa (memperkuat nilai tukarnya)," ujarnya.
Menurut dia, apabila Yuan belum terapresiasi, maka ketegangan di antara negara-negara maju akan tetap meninggi.
"Ada peluang mengurangi tensi perang mata uang, apabila negara-negara melakukan kerjasama dan koordinasi nilai tukar. Karena selama tidak ada apresiasi, tensi tetap tinggi," ujar Iwan.(*)
(T.S034/A026/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010