Indonesia belum memiliki alat radiografi digital yang cukup banyak
Jakarta (ANTARA) - Task Force Riset dan Inovasi Teknologi untuk penanganan COVID-19 (TFRIC-19) mendorong hilirisasi produk Direct Digital Radiography (DDR) sebagai alat radiografi digital yang dikembangkan berbasis kecerdasan artifisial (artificial intelligence).
"Upaya mengantarkan produk teknologi DDR ke pasar bukanlah tanpa tantangan, justru salah satu tantangan utama dalam sebuah proses inovasi adalah pada tahapan difusi dan komersialisasi," kata Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza dalam Webinar Kemandirian Alat Kesehatan Melalui Produk Inovasi Direct Digital Radiography (DDR) di Jakarta, Kamis.
Hammam menuturkan hilirisasi dan komersialisasi produk DDR akan mendukung proses pembangunan kemandirian produk inovasi karya anak bangsa untuk penanganan COVID-19.
Hingga saat ini, uji kinerja sampai proses mendapatkan izin edar masih berlangsung. TFRIC-19 juga berkoordinasi dengan RSUD dr. Sardjito Yogyakarta terkait perolehan data pasien melalui kecerdasan artifisial sehingga citra X-ray dan CT-Scan dapat diunggah secara mudah.
Kemudian, dalam hilirisasi produk inovasi DDR , Universitas Gadjah Mada (UGM) berperan sangat penting sebagai pemegang paten sekaligus inovator, PT Madeena sebagai mitra industri, dan Pusat Teknologi Elektronika Kedeputian Teknologi Informasi, Energi dan Material (TIEM) BPPT sebagai pendamping prototipe serta perolehan izin edar.
Kedeputian Pengkajian Kebijakan Teknologi ikut berperan aktif dalam pendampingan produk DDR melalui kajian tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), e-katalog inovasi, klaster industri dan rantai pasok, kajian kesiapan, kemampuan dan strategi pengembangan industri serta kajian kelayakan bisnis dan kesiapan komersialisasi produk DDR.
Baca juga: Teleradiologi permudah pasien peroleh interpretasi kedua
Baca juga: BPPT: Produk inovasi DDR miliki peluang pasar komersial di Indonesia
Sementara pendiri PT Madeena Karya Indonesia sekaligus inovator untuk produk DDR Gede Bayu Suparta mengatakan pengembangan alat radiografi digital yakni DDR karena ingin menjawab masalah kebutuhan alat radiografi di Indonesia.
"Indonesia belum memiliki alat radiografi digital yang cukup banyak untuk melihat paru-paru. Yang ada saat ini adalah PCR test yang harganya jauh lebih mahal dibanding alat radiografi digital itu sendiri," ujar dosen di Universitas Gadjah Mada itu.
Gede mengatakan alat radiografi digital bisa membedakan berbagai kondisi paru-paru baik yang normal atau yang sedang sakit seperti asma, paru-paru embolis, histoplasmosis, bronkitis hingga COVID-19. Dengan hasil citra medik dari alat radiologi digital tersebut, maka dapat diketahui seseorang menderita COVID-19. Itu akan membantu diagnosa bagi penderita COVID-19
"Kecerdasan artifisial sangat mudah membedakan apa itu asma, COVID-19, penumonia, paru-paru embolis, dari yang normal," ujarnya.
Dia berharap produk DDR bisa segera mendapat izin edar dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat terutama dalam penanganan pandemi COVID-19.
"Kami ingin jadi mitra untuk platform teleradiologi memanfaatkan semua fitur industri digital 4.0," tutur Gede.
Baca juga: Dosen UGM kembangkan alat deteksi COVID-19 dengan radiografi digital
Baca juga: Menristek inginkan kemandirian alat kesehatan dan obat modern
Baca juga: Menkes minta dukungan untuk capai kemandirian alat kesehatan
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021