Jakarta (ANTARA News) - Abdul (3 tahun), Bulu (1 tahun), dan Jo (6 tahun) bukan anak orangutan (Pongo pygmaeus) pertama yang diterima Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) pada tahun 2010.

"Kami menerima delapan bayi orangutan antara April-Juni 2010 ini," kata Emilia Bassar, kepala Divisi Komunikasi BOS.

Bayi-bayi orangutan dengan berbagai kondisi, hasil sitaan Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim tersebut kini dirawat di Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur di Samboja Lestari (PROKT-SL), Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Abdul, Bulu, dan Jo untuk sementara masih di tempat yang disebut Halfway Home atau rumah karantina, 6 km dari PROKT-SL, untuk menjalani pemeriksaan kesehatan intensif.

Togu Manurung, chief executive officer (CEO) BOS, menyatakan, lembaganya menerima orangutan baru dalam kondisi PROKT-SL yang sudah penuh.

Kondisi tersebut sangat berisiko bagi keseluruhan program pelepasliaran orangutan di Samboja Lestari.

Selain tiga anak orangutan yang baru datang, di Samboja Lestari sudah ada 226 individu orangutan.

Seperti halnya manusia, orangutan juga lazim menderita penyakit tuberculosis (TB) paru dan hepatitis.

Orangutan baru juga kerap membawa masalah pendanaan bagi BOS. Seekor orangutan rata-rata memerlukan anggaran Rp2 juta per bulan untuk makan dan obat-obatan.

Bayi orangutan misalnya, selain belajar makan buah, juga harus diberi susu formula seperti bayi manusia.

"Bahkan demi kebersihan, kita harus juga memakaikan popok kepada mereka, seperti bayi manusia pada umumnya," kata Aschta Boestani, manajer program regional Kaltim.

Tak hanya itu, para pengelola PROKT, baik di Samboja Lestari (PROKT-SL) maupun PROKT-NM (Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng), Palangkaraya yang juga berada di bawah Yayasan BOS, juga menghadapi masalah sosial di kalangan orangutan seperti pada manusia umumnya.

Karena keterbatasan tempat dan dana di Samboja dan Nyaru Menteng, PROKT membatasi kelahiran (reproduksi).

"Kami memang tidak mendorong untuk breeding di sini," kata Aschta. Sebab itu, salah satu caranya yang dianggap terbaik, para orangutan betina yang sudah dewasa secara seksual, dipasangi implant atau susuk KB.

"Dipasangnya bukan pada lengan atas seperti pada manusia, tapi di punggung," sambung drh Agus Irawan, dokter hewan lulusan Universitas Gadjah Mada yang setengah tahun lebih bertugas di Samboja Lestari.

Implan dipasang di punggung agar orangutan yang belum terbiasa tidak mencabut lagi susuk yang sudah dipasang tersebut. "Itu pun kami tetap kebobolan juga," senyum Aschta.

Masalah sosial ini muncul karena bagaimana pun, ketika mencapai usia 7-8 tahun, orangutan, baik jantan maupun betina, mengalami kematangan seksual dan siap untuk bereproduksi.

Di alam, pada keadaan demikian, jantan akan mencari pasangan dan mulai membentuk rumah tangga.

Di PROKT, ditempuh kebijakan untuk memasangkan mereka dalam satu kandang yang lebih tinggi dan lebih luas. Agar tak segera punya anak, pada orangutan betina dipasangi implant tadi.

"Sebab sesungguhnya masalah orangutan bukan reproduksi atau mereka kesulitan berkembangbiak. Tapi persoalan tempat atau habitat," tegas Aschta.

Saat ini habitat orangutan semakin terdesak oleh pemukiman manusia, lahan perkebunan, sampai tambang," papar Aschta.

Sebab itulah lahan seluas 86.450 hektar di Wehea yang dikelola PT Rehabilitas Habitat Orangutan Indonesia benar-benar dinantikan para pelaksanan PROKT-SL.

Di lahan itulah nanti orangutan yang mereka "sekolahkan" di Samboja Lestari akan dilepasliarkan.

Sekolah? "Memang sekolah namanya, sekolah alam dan kelas-kelas tahapan peliaran kembal orangutan," kata Aschta.
(ANT188/T010)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010