Jakarta (ANTARA News) - Kapal Motor Labobar, merapat angkuh di pelabuhan Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat di malam gerimis waktu dinihari.

Ratusan orang berduyun-duyun mendekat, tidak peduli titik-titik air hujan yang menetes di kepala menunggu kapal berhenti dengan sempurna.

Lampu-lampu yang bersinar dari seluruh bagian kapal berkerlip bagai bintang dan memecah kesunyian malam yang mencekam.

Suara gaduh berasal dari bibir-bibir calon penumpang yang saling berlomba-lomba mendekat ke tangga masuk kapal seakan tidak sabar meninggalkan tanah bencana, tanah yang baru saja berduka.

Sebagian terlihat menggendong bayi, yang lainnya tergopoh mengangkat barang-barang mulai dari kardus hingga kasur kapuk dan segelintir diantaranya bahkan membawa serta binatang peliharaan.

Kegaduhan semakin membahana ketika satu persatu calon penumpang mulai memasuki dek kapal, mereka saling mendorong, saling mendahului saling menggerutu dan saling berteriak kepada mereka yang berjalan lambat dan menghalangi langkah yang lainnya.

Namun ada juga yang berkelompok, saling membantu, berusaha peduli satu sama lain dan kerap melindungi mereka yang kesulitan di tengah kepadatan malam.

Mereka adalah gelombang eksodus warga untuk yang ke sekian kalinya dari Wasior menuju sejumlah wilayah tujuan pengungsian.

Kapal motor Labobar yang datang setiap dua pekan itu akan membawa mereka ke masing-masing kota tujuan, Manokwari, Sorong, Makassar, Surabaya bahkan hingga ke Jakarta.

Tiket gratis
Seorang ibu muda, berusia 27 tahun bernama Welimarane terlihat kikuk menggendong bayinya diantara gerombolan manusia di sekitarnya.

Rambut keritingnya mulai basah berpeluh hujan, tangan legamnya menggenggam erat sebuah kertas putih, yang tintanya hampir luntur tersapu gerimis.

Kertas itu adalah tiket gratis yang difasilitasi pemerintah untuk mereka yang ingin mengungsi menggunakan kapal milik negara, karena tanpa tiket gratis itu, penumpang harus membayar Rp50 ribu, nilai yang sungguh fantastis bagi mereka yang baru saja menjadi korban bencana, mereka yang baru saja kehilangan semuanya, harta, semangat dan bahkan nyawa orang terdekat.

Dengan langkah gontai, Weli yang juga membawa serta dua anaknya yang lain mulai menaiki tangga masuk kapal dan sesampainya di dek kapal dia segera menduduki sudut kosong di bawah tangga penghubung antar lantai dan menggelar sepotong kain lusuh yang ia bawa yang tersisa dari bencana.

Lalu tangannya yang berbalut kulit legam mulai menyusun bantal-bantal kecil dan menidurkan bayi dan dua anaknya yang lain disitu.

Dia sendiri duduk manis menjaga bayinya dan memunggungi jalan, membiarkan langkah kaki ratusan penumpang lain yang ingin turun dan naik melalui tangga penghubung di dekat tempatnya duduk bergesekan dengan punggungnya.

Situasi menjadi semakin ramai ketika ratusan penumpang lain telah masuk ke dalam kapal, mengingat tiket yang mereka gunakan hanya tiket gratis maka mereka tidak kebagian jatah tempat tidur baik baik dikelas ekonomi apalagi di kelas satu eksekutif.

Karena itu , menjadi pemandangan biasa ketika para penumpang duduk berdesakan di lantai di dekat tangga-tangga penghubung antar dek kapal. padahal kota tujuan terdekat berjarak tujuh jam dari Pelabuhan Wasior.

Namun keinginan untuk pergi meninggalkan kota yang baru saja di terjang banjir bandang begirtu kuat, sehingga mereka tidak peduli jika harus duduk tegak selama berjam-jam, padahal waktu pada saat itu menunjukkan pukul 03.00 WIT saat penduduk lainnya di belahan lain Indonesia tengah terlelap di peraduan.

Welimarane adalah salah satu contoh perempuan tegar warga Wasior yang mencoba bertahan hidup pascaterjangan air bah yang meluluhlantakkan kotanya, kota tempat rumah dan harapan seluruh keluarganya berdiri.

Kini ia kehilangan semuanya, karena rumah dan seluruh harta bendanya telah tersapu banjir yang datang di awal Oktober lalu, di hari Senin yang sunyi yang kini menjadikan Wasior bagaikan kota mati.

Sungguh ia tak mengira, harapan yang dia bangun berama warga Wasior lainnya setelah Teluk Wondama menjadi kabupaten sendiri terlepas dari kabupaten induk, Manokwari pupus hanya dalam hitungan menit.

Pada Senin naas, 4 Oktober 2010 tiba-tiba bukit yang berdiri terjal di sepanjang garis pantai Wasior memuntahkan air bah yang membawa serta bongkahan batu besar dan batang-batang pohon raksasa bersama luapan lumpur pekat.

Terjangan air bak tsunami kecil itu mendorong habis apa pun yang ada di depannya, membuat deretan rumah di Distrik Wasior rata dengan tanah, tidak bersisa.

Kini, dua minggu pascabencana, Weli tengah terombang-ambing di atas kapal berkapasitas angkut 3.000 penumpang yang akan membawanya ke Sorong, Papua Barat untuk mengungsi.

"Saya membawa serta ketiga anak saya, bayi berumur sembilan bulan dan dua kakak lelakinya berusia tujuh dan empat tahun," katanya dengan sorot mata lelah.

Sementara suaminya masih bertahan di Wasior, menunggu kepastian dari pemerintah terkait bantuan untuk membangun kembali rumah mereka yang hancur.

Weli mengaku ingin kembali ke Wasior, tanah nenek moyangnya, tapi tidak sekarang, tidak ingin kembali sebelum traumanya menghilang, sebelum dia yakin bukit terjal di atas sana sudah kembali bersahabat.

"Sekarang saya ingin ke Sorong dulu, ke rumah kerabat, ingin memulihkan pikiran dan rasa takut yang tiap malam datang dalam mimpi-mimpi, anak-anak saya juga perlu dibawa ke tempat yang lebih aman, karena kami takut banjir susulan," katanya.

Perjalanan dari Wasior ke Pelabuhan Sorong melalui laut akan memakan waktu selama 15 jam, dan itu berarti Weli beserta ketiga anaknya harus mampu bertahan melawan lelah dan dinginnya lantai kapal demi mendapatkan rasa aman.

Dini hari itu, bunyi mesin kapal yang menggelegar pertanda perjalanan akan dimulai mulai menderu dan merengkuh perairan di laut lepas. Para penumpang terlarut dalam lelah yang membayangi wajah-wajah lusuh yang terlihat pasrah namun tangguh.

Dan Labobar menjauhi bibir pantai Wasior, membawa serta para pengungsi dan menambah sunyi kota mati yang setiap harinya ditinggali para penghuni.
(W004/A011)

Oleh Wuryanti Puspitasari
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010