"Salah satu penyebab kurang kuatnya posisi Indonesia di kancah politik kawasan Timur Tengah karena minimnya penguasaan bahasa Arab di kalangan diplomat kita," kata pengamat hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Fatkurrohman saat menjadi pembicara dalam seminar Bahasa Arab sebagai Bahasa Internasional, di Yogyakarta, Rabu.
Ia mengatakan akibat dari kurangnya kemampuan penguasaan bahasa Arab, komunikasi diplomat Indonesia dengan pemerintah negara kawasan Timur Tengah menjadi kurang efektif.
"Padahal, diplomat merupakan ujung tombak diplomasi Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasional di mancanegara. Terlebih lagi, banyak tenaga kerja kita yang bekerja di negara Timur Tengah," katanya.
Menurut dia, kurang optimalnya peran diplomat Indonesia di negara Timur Tengah juga terkait dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang cenderung memprioritaskan negara-negara Barat dibanding negara-negara Arab.
"Hal tersebut dapat dilihat dalam struktur Kementerian Luar Negeri Republik Indoensia yang hanya memiliki 16 kedutaan besar di Timur Tengah," katanya.
Ia mengatakan hanya Mesir dan Saudi Arabia yang memiliki status Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) kelas satu dengan ditempatkannya `Deputy Chief of the Mission` (DCM) di kedua negara tersebut.
"Sementara itu, di negara-negara Timur Tengah lainnya, Indonesia hanya menempatkan duta besar yang dibantu oleh lima hingga enam pejabat diplomatik," katanya.
Hal tersebut, menurut dia berbeda dengan perlakuan Indonesia terhadap Amerika Serikat, selain satu KBRI di Washington DC, Indonesia juga menempatkan lima konsulat jenderal di lima kota yaitu Los Angeles, New York, San Fransisco, Houston, dan Chicago.
"Sebenarnya bahasa Arab sangat penting di kancah pergaulan internasional, terbukti dengan diakuinya bahasa itu sebagai salah satu bahasa resmi yang diakui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa," katanya.(*)
(ANT-158/B/M008/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010