Dengan mengandalkan harga sebagai parameter kondisi pasar, permintaan barang akan terukur dengan lebih baik.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani menilai langkah Kementerian Pertanian bersinergi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam penyediaan data pangan sangat strategis karena pengambilan kebijakan yang tepat membutuhkan data akurat.
“Sebelumnya, harga-harga sering tidak mencerminkan realita pasar sehingga Kementerian Perdagangan membuka keran impor agar harga pangan terjangkau,” terang dia dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu.
Dengan mengandalkan harga sebagai parameter kondisi pasar, lanjutnya, permintaan barang akan terukur dengan lebih baik.
Karena itu, Arumdriya menganggap Badan Urusan Logistik (Bulog) perlu diberi keleluasaan menganalisis kondisi pasar secara independen dan tidak terpaku pada instruksi Rapat Koordinasi yang cenderung tidak responsif terhadap kondisi pasar yang sangat dinamis.
Dia juga menyatakan bahwa pemerintah perlu mendukung sektor agrikultur seraya mendorong produksi dengan biaya produksi seefisien mungkin. Selain dapat menyajikan harga komoditas lokal yang bersaing dengan komoditas impor, ungkapnya, juga agar pangan lebih terjangkau bagi masyarakat.
“Modernisasi teknologi pertanian, peningkatan kesejahteraan petani, dan juga peningkatan serapan benih melalui program kebijakan yang tepat sasaran, merupakan beberapa dukungan yang diperlukan,” tambah Arumdriya.
Baca juga: Praktisi tekankan pentingnya data pertanian untuk impor pangan
Menurutnya, perbaikan dalam sektor pertanian adalah upaya mewujudkan harga pangan yang terjangkau di seluruh Indonesia. Bagi dia, keterjangkauan harga pangan sangat penting untuk menyebarkan makanan bernutrisi.
Dalam studi World Food Program tahun 2017, dijelaskan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab utama tak terpenuhinya nutrisi.
Studi tersebut menemukan rata-rata biaya biaya bulanan pemenuhan makanan bergizi sebesar Rp1.191.883, sedangkan BPS memperlihatkan rata-rata pengeluaran bulanan rumah tangga hanya Rp603.236 berdasarkan temuan di bulan Maret tahun 2020.
Baca juga: Urgensi membenahi data pangan Indonesia
Arumdiya mengatakan kekurangan makanan bergizi ditengarai dapat menurunkan mutu pola makan dan menimbulkan risiko malnutrisi dan stunting pada anak-anak.
“Stunting tidak hanya mempengaruhi kondisi fisik tapi juga perkembangan otak dan dalam jangka panjang berpengaruh pada menurunnya produktivitas dan membengkaknya biaya kesehatan,” sebut dia.
Karena itu, dia merasa pemerintah perlu memastikan pemenuhan gizi anak sedini mungkin demi pertumbuhan yang baik, sehingga tak membawa dampak negatif bagi hidup anak yang juga dapat mengancam potensi bonus demografi di Indonesia.
Baca juga: Konsolidasi data pangan antarkementerian harus segera dilakukan
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas/M Razi Rahman
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2021