Surabaya (ANTARA News) - Tanggal 8 Oktober 2010 di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, ada sejumlah tokoh berkumpul, di antaranya Din Syamsuddin, Jusuf Kalla (JK), Wiranto, Taufiq Kiemas, Sutiyoso, Mahfud MD, Soetrisno Bachir, Marzuki Alie, dan Rizal Ramli.
Namun, informasi yang berkembang dari pertemuan itu memicu munculnya isu kudeta atau penggulingan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Boediono (SBY-Boediono) yang genap setahun pada 20 Oktober 2010.
Isu kudeta itu berkembang akibat pernyataan bahwa pemerintah SBY-Boediono telah gagal, padahal pernyataan itu hanya datang dari satu orang, yakni Rizal Ramli, sedangkan pernyataan bersama para tokoh adalah sekarang ini dirasakan ada permasalahan bangsa dan memerlukan tawaran solusi yang konkret.
"Saya tidak percaya kalau pertemuan di Muhammadiyah menjurus ke pendongkelan SBY. Bukankah di situ ada Marzuki Alie (mantan Sekjen Partai Demokrat dan Ketua DPR sekarang)," kata mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi di Jakarta (13/10).
Agaknya, aksi turun ke jalan yang dilakukan mahasiswa untuk memperingati setahun pemerintahan SBY-Boediono di berbagai daerah (20/10) itu tidak lebih dari kritik dan bukan tuntutan mundur sebagaimana yang diisukan.
Misalnya, para mahasiswa di Palu, Sulawesi Tengah, yang tergabung dalam Front Aliansi Masyarakat Peduli Bangsa Indonesia (AMPIBI) dengan melibatkan berbagai elemen Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokratik, KAMMI, BEM, dan dan HMI MPO.
Dalam aksi itu, koordinatornya Bambang Suryadi mengatakan isu yang diusung mahasiswa antara lain pendidikan dan kesehatan gratis, penegakan hukum, dan penurunan harga sembako.
Hal serupa juga terjadi di Jember. Puluhan aktivis PMII Jember melakukan unjuk rasa di bundaran DPRD Jember, Jawa Timur, untuk memperingati setahun pemerintahan SBY-Boediono.
"Kami menilai pemerintahan SBY-Boediono telah gagal dalam berbagai sektor seperti bidang ekonomi, pendidikan, harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, dan penegakan supremasi hukum," ucap Ketua PMII Jember, Achmad Sugiono.
Di sektor ekonomi, lanjut dia, satu tahun pemerintahan belum terlihat ada kemajuan ekonomi yang dapat menyejahterahkan rakyat karena masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan tidak bisa membeli kebutuhan pokok dengan harga terjangkau.
Di sektor hukum, Presiden SBY belum menunjukkan keseriusan untuk mengusut tuntas kasus korupsi, bahkan beberapa koruptor mendapatkan grasi (pengampunan). "Kami kecewa, kami mendesak Presiden SBY melakukan evaluasi terhadap program kerja yang ada," tuturnya.
Aksi juga dilakukan mahasiswa Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Puluhan aktivis mahasiswa beraksi dengan mengatasnamakan diri Komite Arek Lancor Bangkit untuk Bangsa (Kalab) Pamekasan.
Juru bicara mahasiswa dari Ikatan Mahasiswa Hukum Indonesia (Ismahi) Wahyu, menyatakan, banyak hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah yang sampai saat ini belum dilaksanakan secara optimal.
"Antara lain bidang pendidikan, layanan kesehatan, dan ketersediaan pangan. Pelaksanaan pendidikan di negeri ini masih amburadul. Guru tidak merata, bahkan masih banyak anak yang putus sekolah gara-gara tidak bisa membayar SPP. Ini harus menjadi perhatian pemerintah," katanya.
Di bidang pangan, pemerintah masih belum bisa mendorong petani untuk meningkatkan ketahanan pangan, bahkan sudah puluhan tahun bangsa ini merdeka, masyarakat masih krisis pangan.
Kemiskinan-Korupsi
Dalam pandangan pengamat politik asal Surabaya Prof Kacung Maridjan MA, demonstrasi (demo) mahasiswa itu ibarat obat yang seharusnya dapat dijadikan energi untuk menyembuhkan "penyakit".
"Asal tidak anarkis, saya kira demo itu ibarat obat. Yang namanya obat itu pasti pahit, kecuali obat untuk anak-anak. Saya kira, pemerintahan sekarang bukan anak-anak," katanya.
Sebagai kritik, katanya, aksi mahasiswa itu menyoroti pemerintahan SBY-Boediono dalam dua hal yang dinilai belum serius yakni kemiskinan dan korupsi.
"Angka kemiskinan memang turun, tapi angka masyarakat yang hampir miskin cukup banyak, sehingga mereka justru rentan menjadi orang miskin baru," katanya kepada ANTARA News di Surabaya (20/10).
Menurut Kacung Maridjan yang juga Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, pemerintah harus lebih banyak memerhatikan kelompok masyarakat yang hampir miskin yang jumlahnya cukup banyak itu.
"Kalau masyarakat yang hampir miskin itu kurang mendapatkan perhatian sedikit saja maka mereka akan menjadi orang miskin, sehingga angka kemiskinan yang menurun itu tidak akan ada artinya apa-apa," ucapnya menegaskan.
Oleh karena itu, kata alumnus The Australian National University (ANU) itu, pemerintahan SBY-Boediono hendaknya lebih serius lagi terhadap penanganan kemiskinan itu.
"Kebijakan ke arah sana sebenarnya sudah ada, tapi belum serius. Misalnya, KUR dengan skema kecil yang ternyata dikenai bunga lebih besar dibandingkan dengan KUR dengan skema besar. Itu berarti membantu orang miskin tapi tidak serius," tuturnya.
Contoh lain, infrastruktur untuk kawasan pelosok juga kurang serius, sehingga pertumbuhan ekonomi juga tidak maksimal dan justru meningkatkan kesenjangan.
"Kawasan perkebunan yang berjarak 30 kilometer justru perlu waktu tempuh dua jam akibat infrastruktur yang tidak memadai, sehingga kemiskinan di kawasan pelosok akan terpelihara cukup lama," paparnya.
Di sektor pemberantasan korupsi, Kacung Maridjan menilai SBY-Yudhoyono sebenarnya sudah serius, tapi keseriusan itu menjadi sia-sia, karena polisi, jaksa, dan hakim belum banyak berubah.
Hal itu membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak memberikan efek jera, sebab hukuman maksimal hanya ada satu yakni jaksa Urip TG yang divonis 20 tahun, sedangkan koruptor lainnya hanya divonis 4-5 tahun saja atau bahkan kurang dari itu.
"Hukuman mati sudah diatur dalam UU, tapi pelaksanaannya juga belum ada. Satgas juga sudah ada, tapi polisi, jaksa, dan hakim hanya membidik koruptor yang `kroco` (kelas teri)," kata salah seorang Ketua PBNU itu.
Oleh karena itu, menurut dia, SBY-Boediono harus bersikap tegas dalam melakukan reformasi birokrasi, khususnya reformasi di jajaran aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa, dan hakim.
"Kalau mau jujur, reformasi birokrasi juga belum maksimal. Korupsi masih ada di birokrasi, bahkan legislatif juga ada. Urusan pelayanan kepada masyarakat akan lancar bila ada `fee` tertentu, termasuk di kalangan penegak hukum," ujarnya.
(E011/T010)
Oleh Edy M. Ya`kub
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010