kita coba attrack lebih banyak private sector
Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan berdasarkan estimasi kontribusi yang ditentukan secara nasional (nationally determined contribution/NDC) yang telah diperbarui maka Indonesia membutuhkan Rp4.520 triliun untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) di 2030.
"Tahun 2018 sudah diestimasi Rp3.641 triliun. Dan diupdate lagi dengan peta jalan NDC, angkanya naik menjadi Rp4.520 triliun untuk mencapai target itu. Itu angka yang besar," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dalam gelaran virtual Indonesia Green Summit 2021 yang diakses di Jakarta, Selasa.
APBN sebagai salah satu instrumen selama ini sudah mengembangkan budget tagging. Artinya, ia mengatakan anggaran tersebut secara transparan sudah menjelaskan berapa porsi belanja Indonesia untuk pengendalian perubahan iklim, yang selama ini adalah 4,1 persen.
"Di 2018 sampai 2020 mencapai Rp102,6 triliun atau 4,3 persen dari total budget kita. Itu hanya 34 persen dari kebutuhan dana per tahunnya," ujar Sri Mulyani.
Artinya, ia mengatakan, untuk mencapai komitmen NDC yang diamanatkan Paris Agreement secara nasional tidak bisa hanya pemerintah yang mendanai namun seluruh korporasi dan masyarakat harus jadi keseluruhan ekosistem. "Dan di level global kita juga memperjuangkan itu," katanya.
Baca juga: Ahli: Target NDC perlu naik 5 kali lipat hadang dampak perubahan iklim
Baca juga: Pemerintah antisipasi lonjakan emisi saat pemulihan ekonomi nasional
Sri Mulyani menjelaskan konsistensi pemerintah untuk mencapai target NDC tersebut tentu dijaga dengan menjaga kebijakan besarnya.
"Kalau policy besarnya gambarannya kita mau menurunkan emisi CO2 bahkan mencapai net zero emission, maka kita menggunakan instrumen fiskalnya atau tax holiday, tax allowance, PPN, kemarin PPnBM kita keluarkan PP 24 Tahun 2021 yang merefleksikan kalau mobil atau otomotif yang memiliki emisi lebih besar maka PPnBM-nya lebih tinggi," ujar dia.
Ia mengatakan itu merupakan instrumen yang nilainya bukan berdasarkan belanja, tapi berdasarkan untuk mengubah insentif agar semua pihak termasuk korporasi dan masyarakat tidak hanya sadar tapi juga mau mengadopsi komitmen iklim dalam keputusan investasi dan konsumsinya.
"Nah untuk itu tentu kita harus terus diversify berbagai instrumen yang kita miliki agar swasta bisa ikut serta. Karena tadi saya sebut, ada 32 persen yang didanai APBN langsung, maka kita coba attrack lebih banyak private sector," katanya.
Baca juga: Sri Mulyani paparkan kontribusi RI untuk tangani perubahan iklim
Baca juga: Sri Mulyani: Perubahan iklim dan COVID-19 punya dampak sama
Sri Mulyani mengatakan di dalam negeri yang coba dilakukan adalah memberikan insentif atau blended finance, yaitu Kerja Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).
"Kita membuat jaminan, kita ikut mendanai projek supaya dia viable secara finansial dan kita memberinya insentif sehingga uang private bisa masuk," katanya.
Sementara di level global, ia mengatakan ada beberapa "ladang peperangan" yang dilakukan. Pertama, tentu dari sisi Indonesia untuk mendanai komitmen mendanai projek yang bersifat hijau, transformasi ke energi baru terbarukan (EBT), yang semuanya membutuhkan dana.
"Dan kita men-diversified dengan meng-issued green bond. Kita punya green sukuk bond sejak 2018. Indonesia termasuk dari sedikit negara di dunia, hanya 18 negara saja yang issued green bond dan kita secara cukup ajek dari 2018 waktu itu issued 1,25 miliar dolar AS, 2019 (keluarkan) 750 juta dolar AS, 2020 (keluarkan) 750 juta dolar AS, dan 2021 kemarin kita issued 750 juta dolar AS," ujar Sri Mulyani.
Bedanya, menurut dia, efek bersifat utang berwawasan lingkungan itu dikeluarkan untuk jangka waktu 30 tahun, sementara sebelumnya bertenor lima tahun.
Baca juga: Menteri LHK sebut pengurangan emisi dilakukan dengan langkah realistis
Baca juga: ADB sediakan 80 miliar dolar AS untuk pendanaan iklim
Baca juga: Keberhasilan Indonesia di COP26 menopang kepemimpinan di G20
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021