Surabaya (ANTARA News) - Pengamat politik asal Surabaya Prof Kacung Maridjan MA menilai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Boediono belum serius untuk mengatasi kemiskinan dan korupsi.
"Angka kemiskinan memang turun, tapi angka masyarakat yang hampir miskin cukup banyak, sehingga mereka justru rentan menjadi orang miskin baru," katanya kepada ANTARA di Surabaya, Rabu.
Ia mengemukakan hal itu menanggapi kritik dari sejumlah elemen masyarakat yang menggelar demonstrasi untuk memperingati satu tahun pemerintahan Yudhoyono-Boediono pada 20 - 10 - 2010.
Menurut Kacung Maridjan yang juga Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, pemerintah harus lebih banyak memperhatikan kelompok masyarakat yang hampir miskin yang jumlahnya cukup banyak itu.
"Kalau masyarakat yang hampir miskin itu kurang mendapatkan perhatian sedikit saja, maka mereka akan menjadi orang miskin, sehingga angka kemiskinan yang menurun itu tidak akan ada artinya apa-apa," katanya.
Oleh karena itu, kata alumnus The Australian National University (ANU) itu, pemerintahan SBY-Boediono hendaknya lebih serius lagi terhadap penanganan kemiskinan itu.
"Kebijakan ke arah sana sebenarnya sudah ada, tapi belum serius. Misalnya, KUR dengan skema kecil yang ternyata dikenai bunga lebih besar dibandingkan dengan KUR dengan skema besar. Itu berarti membantu orang miskin tapi tidak serius," katanya.
Contoh lain, katanya, infrastruktur untuk kawasan pelosok juga kurang serius, sehingga pertumbuhan ekonomi juga tidak maksimal dan justru meningkatkan kesenjangan.
"Kawasan perkebunan yang berjarak 30 kilometer justru perlu waktu tempuh dua jam akibat infrastruktur yang tidak memadai, sehingga kemiskinan di kawasan pelosok akan terpelihara cukup lama," katanya.
Di sektor pemberantasan korupsi, Kacung Maridjan menilai SBY-Yudhoyono sebenarnya sudah serius, tapi keseriusan itu menjadi sia-sia, karena polisi, jaksa, dan hakim belum banyak berubah.
"Di mata dunia, upaya kita memberantas korupsi memang ada hasilnya, tapi hasil itu masih sedikit, karena peringkat kita masih 111 atau masuk peringkat menengah ke bawah," katanya.
Hal itu, katanya, akibat penanganan tindak pidana korupsi tidak memberikan efek jera, sebab hukuman maksimal hanya ada satu yakni jaksa Urip TG yang divonis 20 tahun, sedangkan koruptor lainnya hanya divonis 4-5 tahun saja atau bahkan kurang dari itu.
"Hukuman mati sudah diatur dalam UU, tapi pelaksanaannya juga belum ada. Satgas juga sudah ada, tapi polisi, jaksa, dan hakim hanya membidik koruptor yang `kroco` (kelas teri)," katanya.
Oleh karena itu, katanya, SBY-Boediono harus bersikap tegas dalam melakukan reformasi birokrasi, khususnya reformasi di jajaran aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa, dan hakim.
"Kalau mau jujur, reformasi birokrasi juga belum maksimal. Korupsi masih ada di birokrasi, bahkan legislatif juga ada. Urusan pelayanan kepada masyarakat akan lancar bila ada `fee` tertentu, termasuk di kalangan penegak hukum," katanya.
Dalam konteks itu, katanya, pemerintah perlu memikirkan peningkatan pelayanan yang memanfaatkan teknologi informasi (IT) untuk semua sektor dan penjatuhan sanksi yang memberi efek jera kepada mereka yang melanggar.
(ANT/A024)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010