Jakarta (ANTARA News) - Pertumbuhan ekonomi Indonesia meski sempat melambat pada tahun lalu yang hanya mencapai 4,5 persen diperkirakan akan terus melesat sejalan dengan terus membaiknya perekonomian dunia dan semakin kukuhnya perekonomian domestik.
Pada tahun ini Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 6,0 persen melebihi target pemerintah dalam asumsi APBN Perubahan 2010 sebesar 5,8 persen.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sebuah kesempatan menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ini didukung oleh meningkatnya ekspor, pulihnya investasi, serta terjaganya tingkat konsumsi masyarakat.
Stabilitas ekonomi makro dan kepercayaan pasar, kata SBY, merupakan prasyarat untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan.
Diungkapkan Presiden, dalam tahun 2009 ketika sebagian besar negara di dunia mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto mencapai 4,5 persen, yang menempatkan Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara yang memiliki kinerja ekonomi terbaik dalam tahun itu, di samping Cina dan India.
Dengan kondisi dalam negeri yang membaik serta perekonomian global yang semakin pulih, Pemerintah dalam APBNP 2011 menetapkan target pertumbuhan lebih tinggi yaitu 6,4 persen.
Target pertumbuhan yang semakin tinggi ini tentu sejalan dengan janji pasangan SBY-Boediono saat kampanye Pilpres yang menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen pada akhir masa jabatan mereka di 2014.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa bahkan lebih optimis dengan memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 7,7 persen di 2014.
Pada 2012 pertumbuhan ekonomi ditargetkan mencapai 6,4-6,5 persen, kemudian 2013 ditargetkan mencapai 6,7-7,7 persen, hingga 2014 diprediksi mencapai 7,0-7,7 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, bagi pasangan SBY-Boediono diyakini dapat dengan otomatis mengurangi jumlah masyarakat miskin dengan semakin banyaknya lapangan pekerjaan yang tercipta dan meningkatnya pendapatan penduduk.
Dalam janjinya saat Pilpres pasangan SBY-Boediono menargetkan pada 2014 angka kemiskinan turun menjadi 8 - 10 persen dari total penduduk, sementara jumlah pengangguran turun menjadi 4-5 persen.
Namun sepertinya angka pertumbuhan ekonomi tinggi yang menjadi fokus pemerintah, tampaknya belum cukup untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran, apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak ditopang dari sektor konsumsi.
Kemiskinan tinggi
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka kemiskinan pada 2010 diperkirakan tidak lebih baik dibanding dengan 2009 meski pertumbuhan ekonomi meningkat dari 4,5 persen menjadi sekitar 6 persen (perkiraan).
Kepala BPS Rusman Heriawan mengatakan angka kemiskinan pada 2009 berkisar pada 14,15 persen dan data yang akan keluar pada 2010 angkanya mungkin masih pada kisaran itu.
Rusman menjelaskan hal itu antara lain disebabkan karena harga-harga yang dikonsumsi masyarakat miskin terus melonjak.
Sementara data Kemenkeu menyebutkan tahun 2010 jumlah orang miskin di Indonesia sekitar 13,5 persen dari jumlah penduduk di Indonesia saat ini sebanyak 238 juta jiwa. Menurut definisi kemiskinan BPS, orang dianggap miskin jika pengeluarannya di bawah Rp211.000 sebulan per orang.
Tidak sejalannya kenaikan pertumbuhan ekonomi dengan penurunan kemiskinan, menurut Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Slamet Sutomo karena pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya didukung oleh sektor jasa ketimbang industri manufaktur.
Sementara peneliti LIPI Latief Adam mengatakan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah tidak efektif karena setiap tahun anggaran untuk menanggulangi kemiskinan meningkat tetapi jumlah orang miskin tidak berkurang.
Dari formula yang ada, lanjutnya, untuk satu persen pertumbuhan ekonomi akan bisa atau diharapkan bisa menyerap tenaga kerja dari 250 ribu sampai 300 ribu tenaga kerja. Kalau Indonesia menargetkan akhir tahun 2010 ini pertumbuhan ekonomi di Indonesia mencapai 6 persen atau pun sampai 7 persen, maka tenaga kerja yang diciptakan 1,8 juta - 2,1 juta jiwa.
Suatu jumlah yang tidak sepadan dengan angka kemiskinan di Indonesia tahun 2010 yang sebesar 13,5 persen dari total penduduk Indonesia.
Latief juga memperkirakan target penurunan kemiskinan menjadi 8-10 persen pada 2014 tidak akan tercapai karena maksimal hanya menjadi 11,9 persen. Untuk bisa mencapai target tersebut, idealnya rata-rata penurunan per tahun 0,8 persen.
Menurut Latief, upaya penanggulangan kemiskinan selama ini hanya kosmetik saja karena Pemerintah tidak membuat kebijakan yang komprehensif dan bersifat jangka panjang.
Menurutnya, program-program pengentasan kemiskinan dinilai tidak sinkron sehingga menutup akses orang miskin terhadap sumber daya ekonomi, seperti kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan harga eceran tertinggi (HET) yang mengurangi daya serap tenaga kerja di sektor industri dan pertanian.
"Saat ini (sekitar) 69 persen dari total tenaga kerja itu berada di sektor informal. Karena akses rakyat miskin untuk masuk ke sektor pertanian dan industri berkurang," ujarnya.
Kurangnya akses rakyat miskin ke sektor pertanian terlihat dengan semakin sempitnya kepemilikan tanah oleh petani kecil yang pada 2003 memiliki tanah rata-rata 0,26 hektare menjadi hanya 0,17 hektare pada 2010 (data Serikat Petani Indonesia), padahal penyerapan tenaga kerja sektor pertanian sangat besar, yakni 44,3 persen dari total angkatan kerja, atau lebih dari 50 juta jiwa.
Dari berbagai data tersebut, terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang meningkat serta asumsi ekonomi lain yang membaik ternyata tidak berjalan seiring dengan membaiknya kehidupan masyarakat terutama kaum miskin, karena pertumbuhan tersebut hanya dirasakan oleh masyarakat menengah ke atas.
Yang memprihatinkan, berbagai akses untuk meningkatkan kehidupan rakyat miskin justru semakin sulit dicapai seperti pendidikan yang semakin mahal, biaya kesehatan yang tinggi dan makanan bergizi yang sulit dibeli.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk membantu masyarakat seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), bantuan operasional sekolah (BOS) dan lainnya belum cukup untuk membawa masyarakat kecil keluar dari garis kemiskinan.
Akui kekurangan
Staf khusus Presiden Ahmad Yani Basuki, mengakui meski prestasi perekonomian dalam satu tahun ini secara angka-angka membaik, namun masih banyak yang harus dikerjakan Pemerintah terutama agar manfaat pembangunan bisa dirasakan masyarakat secara adil dan merata.
Yani mengatakan, ke depan Presiden SBY akan terus fokus pada program pembangunan yang "pro poor, pro growth, pro job" ditambah "pro environment" dengan terus mengupayakan keadilan dan kesamarataan.
Upaya itu antara lain dilakukan dengan menciptakan keselarasan pembangunan pusat dan daerah seperti melakukan pertemuan "retreat" dengan gubernur semua provinsi yang telah dilakukan tiga kali selama satu tahun ini.
Ke depan, Pemerintah melihat masih perlunya pengembangan dan perbaikan infrastruktur yang penting bagi perekonomian nasional.
Yani menambahkan, fundamental ekonomi Indonesia yang membaik serta stabilitas politik yang terjaga telah membuat banyak dana asing masuk ke Indonesia melalui pasar saham dan surat utang negara (SBN).
"Kondisi perekonomian Indonesia menunjukkan performa terbaiknya. Jadi kita sudah berada di jalur yang tepat. Namun dibanding peluang yang ada, kerja rupanya belum optimal. Masih bisa ditingkatkan lagi," katanya.
Dikatakannya, sebagian pihak memang memaknainya secara sinis dengan menyatakan bahwa kondisi bagus tersebut lebih karena faktor eksternal, namun sebagian pendapat juga menyatakan bahwa kinerja pemerintahan tidak dapat diremehkan dalam memanfaatkan dorongan faktor eksternal tersebut.
Sejumlah indikator ditunjukkan Yani seperti posisi Indeks Harga Saham Gabungan BEI yang melesat dari 2.500 pada Oktober 2009 menjadi 3.600 pada Oktober 2010. Pertumbuhan ekonomi 2010 6,2 persen (semester I) 2010 membaik dibanding 4,5 persen pada 2009.
Kurs rupiah menguat dari Rp9.365 per dolar AS menjadi Rp8.925 per dolar AS. Sementara tingkat pengangguran terbuka menurun dari 9,0 persen (2009) menjadi 8,6 persen dan angka kemiskinan yang menurun dari 14,1 persen menjadi 13,3 persen.
Cadangan devisa meningkat dari 64,529 juta dolar AS menjadi 86,551 juta dolar AS, sementara Belanja Negara (APBN 2010) meningkat dari Rp1.000,8 triliun menjadi Rp1.104,6 triliun sedangkan nilai ekspor meningkat dari 11,88 miliar dolar AS menjadi 13,71 miliar dolar AS pada Agustus 2010.
Pertumbuhan ekonomi dan indikator ekonomi lain pada satu tahun perjalanan pemerintahan SBY-Boediono terbukti memang membaik, tetapi Pemerintah seharusnya jangan terpuaskan hanya dengan angka-angka kinerja itu semata, karena masih ada sekitar 55 juta rakyat miskin yang sudah terlalu lama tidak merasakan tetesan kemakmuran dari negeri yang kaya raya ini.
Masih banyak terobosan yang harus dapat dilakukan pemerintah untuk membantu mereka, apalagi mengingat kondisi global saat ini yang menguntungkan Indonesia sehingga seharusnya Pemerintah dapat lebih cepat bergerak membantu rakyatnya.
(D012/U002)
Oleh Dody Ardiansyah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010