"Kami berpikir ingin memunculkan suatu indikator baru dalam bentuk pembangunan nasional atau indikator keberlanjutan pembangunan," kata Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Said Didu kepada ANTARA News, di Jakarta, Senin.
Menurutnya, indikator tersebut akan memuat proses pembangunan dan hasil pembangunan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.
Indikator pembangunan nasional, katanya, harus memuat beberapa hal seperti rasio infrastruktur, seperti berapa idealnya infrastruktur seperti jalan kereta api, bandar udara, serta jaringan listrik.
Said Didu mengatakan pula indikator lain yang diperlukan adalah rasio penelitian dan pengembangan, rasio penggunaan teknologi, rasio kepemilikan sumber daya alam dan manusia.
"Selain itu juga diperlukan rasio mengenai penguasaan sumber daya ekonomi. Tujuannya untuk mengetahui berapa lahan perumahan yang dikuasai masyarakat," katanya.
Dia mengatakan pula, rasio yang perlu diungkap adalah rasio mengenai kredit untuk mengetahui pihak-pihak mana saja yang sudah dapat kredit. "Ini harus dibuka supaya masyarakat mengetahuinya," katanya.
Hal lain yang akan disampaikan PII dalam memunculkan indikator pembangunan nasional, katanya, adalah rasio terhadap insinyur yang bekerja di bidangnya.
"Saat ini kita banyak melihat banyak insinyur yang bekerja bukan di bidangnya seperti insinyur menjadi politisi," katanya.
Said Didu menilai Indonesia selama ini sudah lama sekali memakai rasio yang konvensional dan ternyata tidak mengalami banyak kemajuan soal pembangunan, padahal Tanah Air memiliki banyak kekayaan alam seperti yang dimiliki negara lain seperti China dan India.
"Kekayaan alam Indonesia sebenarnya banyak juga dimiliki seperti di India dan China tapi mengapa dua negara itu bisa lebih maju dibanding kita," katanya.
Indikator pembangunan nasional di dua negara itu, dinilai Said Didu juga sudah baik mengingat banyak orang kaya di dunia berasal dari China dan India.
"Hal yang cukup mengkagetkan adalah di China banyak orang kaya padahal negara itu masih menganut paham komunis," katanya.
(A025/B013)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010