Jakarta (ANTARA) - Kasus mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara yang didakwa menerima suap Rp32,482 miliar dari 109 perusahaan penyedia bantuan sosial saat pandemi COVID-19 telah menjadi sejarah kelam bangsa ini.
Miris, ketika tonggak yang seharusnya dapat diandalkan oleh masyarakat justru berkhianat di tengah terpuruknya kondisi bangsa. Siapapun akan mengingat tindakan tersebut sebagai perbuatan yang kejam, bahkan mengecapnya sebagai kejahatan kemanusiaan.
Kasus tersebut memancing keraguan masyarakat acap kali mendengar kata ‘bansos’. Hal ini dibuktikan melalui hasil survei yang diadakan oleh Indonesia Political Opinion (IPO), di mana sebesar 68,1 persen responden menyatakan program jaring pengaman sosial rawan dikorupsi.
Hasil survei IPO merupakan tamparan telak bagi pemerintah. Hal ini menjadi pengingat bahwa lebih dari separuh responden telah meragukan integritas pemerintah dalam menjamin kesejahteraan masyarakatnya, terlebih melalui program sosial.
Lantas, bagaimana pemerintah dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat?
Baca juga: Pemerintah siapkan mekanisme baru penyaluran bantuan sembako
Kolaborasi APIP dan BPKP
Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 21 Tahun 2021 mengarahkan agar Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mendampingi proses penyediaan dan percepatan penyaluran bantuan sosial.
Sejatinya, kedua lembaga tersebut telah melakukan pengawasan sedari tahun 2020. Meski saat ini, baik APIP maupun BPKP telah dibekali oleh pengalaman berharga (berupa kasus korupsi) yang terjadi pada tahun sebelumnya.
“Kita harus memastikan jangan sampai ada pemotongan di lapangan, apalagi pungutan-pungutan,” kata Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah Dadang Kurnia ketika dihubungi oleh ANTARA dari Jakarta, Kamis (22/7).
Dadang juga menyatakan, hingga satu bulan ke depan, pemerintah telah meminta BPKP untuk fokus bekerja sama dengan APIP dalam mengawal penyaluran bantuan sosial. Pengawalan tersebut, apabila mengacu pada inmendagri, memfokuskan pada dua proses yang kini tengah berlangsung, yaitu proses penyediaan dan proses penyaluran.
“Kami (bertugas untuk) mendampingi dari aspek penyediaan anggarannya. Seperti saat melakukan refocusing penganggaran dari dana transfer daerah atau dana desa untuk ke bantuan sosial dan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD),” kata Dadang Kurnia menjelaskan proses penyediaan dana anggaran untuk program bantuan sosial.
Terkait penyediaan dana anggaran, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan bahwa terdapat penambahan anggaran untuk sektor perlindungan sosial sebesar Rp55,21 triliun, sehingga anggaran menjadi sebesar Rp187,8 triliun. Sebelumnya, pada PPKM Darurat periode 3 Juli-20 Juli 2021, besar anggaran untuk sektor perlindungan sosial sejumlah Rp132,59 triliun.
Sektor perlindungan sosial meliputi Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), penyaluran kartu sembako, Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM), dan Program Pra-Kerja
Kemudian, pada proses penyaluran, langkah pertama adalah BPKP dan APIP akan turut mendampingi pada penetapan keluarga penerima manfaat. Kedua lembaga tersebut akan membandingkan Daftar Penerima Manfaat (DPM) dengan jenis manfaat yang diterima untuk menyesuaikan jumlah manfaat yang diperoleh masing-masing penerima.
Selanjutnya, BPKP dan APIP akan memastikan penyaluran dana berlangsung sebagaimana mestinya. Terdapat tiga indikator yang diawasi, yaitu ketepatan sasaran, ketepatan jumlah, dan ketepatan waktu.
Pendampingan yang terakhir adalah pada proses pelaporan dan pertanggungjawaban penyaluran bantuan sosial dan BLT DD kepada masyarakat.
Hal yang serupa juga dipaparkan oleh Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Tumpak Haposan Simanjuntak.
“Pada tahap pengawasan pelaksanaan distribusi, APIP akan mendampingi para pelaksana bansos bersama dengan BPKP di dalam konteks melakukan verifikasi data,” kata Tumpak ketika dihubungi oleh ANTARA dari Jakarta, Rabu (21/7).
“Jangan sampai ada fraud atau penyimpangan,” kata Tumpak menambahkan.
Setelah pemberian bantuan sosial dilaksanakan dan laporan penyaluran bantuan sosial dan/atau jaring pengaman sosial yang bersumber dari APBD diberikan kepada Menteri Dalam Negeri, maka baik APIP maupun BPKP dapat melakukan post-audit apabila diperlukan.
“Jangan sampai ada duplikasi, ada salah sasaran, ada salah daftar penerima, dan lain-lainnya,” ujar Tumpak menjelaskan poin-poin yang menjadi aspek penting dalam melakukan audit.
Kedua lembaga tersebut akan membandingkan antara data yang masuk dengan kondisi di lapangan ketika melakukan post-audit. Hal ini bertujuan untuk memastikan kesesuaian seperti yang telah ditentukan pada tahap peninjauan.
Baca juga: Irjen Kemendagri jelaskan mekanisme pengawasan bansos
Kendala
Salah satu kendala yang menurut Tumpak sering kali mengakibatkan keributan adalah data penerima bantuan sosial yang tercantum dalam Daftar Penerima Manfaat.
“Ini yang sering menjadi kisruh, karena dinamisnya perubahan data di tengah pandemi COVID-19 ini,” kata Irjen Kementerian Dalam Negeri menjelaskan mengenai kendala yang dihadapi oleh APIP.
Perubahan data yang dinamis diakibatkan oleh dampak pandemi COVID-19 yang tidak menentu pada perekonomian masyarakat.
Mulanya, DPM mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang telah disediakan oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Akan tetapi, perubahan dinamika perekonomian masyarakat mengakibatkan munculnya rakyat miskin baru.
Perubahan daftar penerima bahkan dapat terjadi setiap bulan, sehingga APIP dan BPKP harus mengawasi dan melakukan peninjauan DPM dengan akurat untuk memastikan bantuan yang disalurkan oleh pemerintah dapat tepat sasaran.
Pengawasan dan peninjauan DPM juga merupakan wujud komitmen APIP dan BPKP dalam menjaga akuntabilitas penerima bansos. Kedua lembaga tersebut harus memastikan bahwa jumlah yang dianggarkan per penerima manfaat harus sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Tumpak menambahkan, kendala lain yang dihadapi, terutama untuk memastikan ketepatan waktu, adalah kendala geografis, kapasitas sumber daya manusia (SDM), serta sarana-prasarana.
Kendala-kendala tersebut acapkali terjadi di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal). Sulitnya pemerintah untuk mengakses daerah-daerah tersebut mengakibatkan keterlambatan dalam pemberian bantuan sosial.
Oleh karena itu, dukungan dari pemerintah daerah setempat sangat dibutuhkan untuk melancarkan penyaluran bantuan, terlebih di wilayah yang sulit dijangkau oleh tim distributor bantuan sosial.
Pemerintah telah melakukan upaya maksimal untuk memastikan kesejahteraan masyarakatnya, terlebih melalui mekanisme serta instruksi-instruksi yang diberikan kepada lembaga-lembaga kepemerintahan. Jumlah bantuan sosial yang telah terealisasikan akan menjadi bukti keseriusan pemerintah untuk menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat.
Baca juga: Tito Karnavian usul sinkronisasi skema pemberian bansos
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021