Jakarta (ANTARA News) - Jujur saja, "Eat Pray Love" lebih mengasyikan dan mengayakan pikiran kalau dinikmati lewat bukunya, ketimbang filmnya, kendati aktris peraih Oscar, Julia Roberts, membintangi film itu.

Akting Julia tetap menawan, tapi tak sebrilian saat memerankan perempuan pembela lingkungan yang energik dalam "Erin Brokovich".

Naskah film yang ditulis aktris Jennifer Salt lebih kering dari bukunya sehingga Julia Roberts yang juga adik aktor laga Eric Roberts itu tak bisa menumpahkan semua kecemerlangan aktingnya.

Jika melihat novelnya, Elizabeth Gilbert, pengarang novel sekaligus tokoh utama film, piawai merangkai kata dengan jenaka namun cerdas, relijius tapi tidak mistis, "sangat perempuan" tapi tidak mengobral kata-kata melankolis dan sentimentil. Kata-katanya pun bersubstansi, namun mudah dicerna.

Novel ini bahkan bisa menjadi salah satu referensi penting dalam bagaimana satu buku padat pesan dan filosofi, serta kuat karakter, ditulis dalam bahasa simpel nan cair.

Elizabeth menangkap kegelisahan dan kehampaan perempuan yang didera persoalan berat dalam kehidupan cintanya, yang diangkat dari perjalanan hidupnya sendiri.

Namun dia tak mendramatisasi tragedi, bahkan ketika harus kehilangan segalanya karena sang suami menuntut semua miliknya, Elizabeth tidak histeris sehingga memupus kesan bahwa perempuan itu materialistis.

Dia tak menyalahkan orang lain, pun saat akhirnya memupus penyesalannya, kendati yang terakhir ini dipetiknya dari hasil dialog multikultur dan transaksi sosial dengan saudara, sahabat, dan teman-teman barunya di Itali, India, dan Bali.

Tapi, dalam film, kecuali gambar dan pesona Julia Roberts, kedalaman nilai yang termuat dalam versi novelnya tak begitu jelas tergambar.

Dalam novel, Elizabeth menggambarkan dirinya sebagai pencari esensi hidup yang jenaka, cerdas, kontemplatif, kritis, dan tak segan memungut jawaban kehidupan dari manapun datangnya.

Elizabeth tak berbantah sedramatis dalam film. Air matanya pun tak sederas digambarkan dalam filmnya.

Dialog transendentalnya dengan Tuhan yang digambarkan jenaka namun sangat dekat dan substantif, dalam versi filmnya direduksi menjadi mozaik-mozaik tanpa dirangkai dengan sebab yang justru dilukiskan menyentuh dalam novelnya.

Tak sebanding

Film ini tak segempita liputan media massa Indonesia ketika salah satu sekuel utamanya diambil di Bali setahun lalu.

Tentu saja antusiasme media itu muncul karena pesona Julia Roberts, bukan karena popularitas novel "Eat Pray Love", apalagi sosok Elizabeth Gilbert.

Jika pun pesona Julia tersaingi, maka itu oleh ekstasi Indonesia mendapati Bali menjadi tempat syuting satu film yang dibintangi aktris papan atas Hollywood yang begitu kesohor di Indonesia.

Bab pencarian Tuhan yang didedah amat menyentuh dan memuatkan nilai filosofis tinggi dalam novel 445 halaman itu, pada filmnya diringkas untuk kemudian divisualisasi secara datar, diganti oleh klise Hollywood.

Dalam buku, Elizabeth mengakrabi Tuhan dengan meditasi, tapi dia tak memaparkan proses itu secara klenik. Sebaliknya, dalam film hal itu dilukiskan cenderung mistik.

Sutradara Ryan Murphy agaknya terlalu berat memikul popularitas novel "Eat Pray Love" sehingga kehilangan sentuhan dalam merangkai cerita dan gagal memaksa Julia mengekspresikan kecemerlangan aktingnya, sekaligus keliru menjumput esensi novel Elizabeth Gilbert itu.

Kecuali gambar-gambar menawan, terutama saat Elizabeth menyantap spaghetii dan pizza di Itali, dan tentu saja Bali yang dilukiskan amat menawan, film ini lebih dari comotan bagian-bagian novel, tanpa menautkan secara terang antara sebab dengan akibatnya.

Narasi yang terlalu dominan telah menghalangi Julia memvisualisasi pesan-pesan spiritual tinggi dan suara hati perempuan seperti terekam dominan dalam novelnya.

Kebrilianan berakting juga pupus dari Christine Hakim yang memerankan Wayan.

Christine terlalu besar untuk film ini, padahal dalam novelnya, Elizabeth menggambarkan Wayan sebagai pribadi unik yang mungkin bisa dieksploitasi lebih dalam lagi oleh aktris berkualitas seperti Christine. Wayan sama uniknya dengan sosok Ketut Liyer.

Ada hal yang tak diketahui sebagian besar pemirsa Indonesia bahwa dalam novelnya Elizabeth mengkritik halus komitmen hidup orang Indonesia (khususnya Bali) terhadap orang lain, terutama orang asing. Dia memotret itu dari sosok Wayan.

Di samping itu, Elizabeth menyebut Bali sebagai pelarian bagi ekspatriat yang mengalami badai kehidupan, terutama perceraian, hubungan asmara, dan kegagalan bisnis.

"Attraversiamo"

Kendati begitu, film itu setidaknya membantu mengkristalkan imaji tentang sebuah buku. Dalam perkara ini film "Eat Pray Love" relatif sukses menunaikan misinya.

Khusus bagi Indonesia, film ini adalah megafon ampuh dalam mempromosikan Bali. Hollywood jarang menampilkan Indonesia dalam gambaran seindah dan semenakjubkan "Eat Pray Love."

"Indahnya," kata Elizabeth, begitu masuk di situs penginapannya di Ubud.

Elizabeth memang melukiskan dirinya begitu mencinta dan terpukau oleh Bali. Bukan saja karena ini adalah tempat dia mendapati lagi asmaranya dari Felipe si Brazil, tapi dia memang jatuh cinta pada keindahan dan kualitas seni di Bali.

Tak heran, sutradara Ryan Murphy mengawali dan mengakhiri film dengan nuansa Bali.

Elizabeth bahkan menelusuri bagaimana Bali bisa sampai memiliki cita rasa seni tinggi dan aristokratis.

Dia menyebutkan alasannya, yaitu karena Bali mewarisi kultur warga kelas atas Majapahit --dari keluarga raja sampai senimannya-- yang hengkang dari Jawa karena terdesak Islam.

Yang juga tak tergambar dalam film adalah Elizabeth menangkap pesan Tuhan dalam logika dan kekritisan, bukan mistis seperti dalam filmnya.

Dia mengajak perempuan --khususnya mereka yang bahtera rumah tangganya oleng-- untuk menyeberangi kegagalan asmara mereka, penyesalan, rasa bersalah dan menjadi makhluk dependen seperti umumnya dikesankan ada pada perempuan, untuk menemukan pengalaman hidup baru yang menceriakan hidupnya lagi.

Pencarian itu sendiri tidak demi materi, tidak sebagai kompensasi (apalagi untuk balas dendam), tidak pula demi memenuhi kodrat semata bahwa manusia harus berpasang-pasangan.

Dia melakukan itu demi keriangan hati yang diekspresikannya dengan bagaimana makanan dinikmati oleh pikiran yang juga lapang. Bagian ini dia sebut "eat".

Kemudian, dia mengajak perempuan memahami esensi hidup dan spiritualitas yang dilukiskannya dalam "pray".

Terakhir, dia membawa perempuan untuk tak takut berlabuh kembali pada asmara yang diantarkan kepadanya melalui nuansa damai, indah dan luhurnya seni Bali, dari seorang pria yang juga memahami kesendirian dan makna keluarga. Ini adalah bagian "love".

Sayang, dalam film, romansa ini diperas menjadi kisah cinta klise, padahal percintaan Elizabeth dengan Felipe tak secengeng dalam filmnya.

Elizabeth sendiri sepertinya hendak mengajak kaumnya meninggalkan penyesalan, kegalauan hati, dan rasa bersalah, dengan menyebrangi kemuraman-kemuraman itu dengan atmosfer hidup dan spiritualitas baru yang lebih terang nan menggairahkan.

Dia meringkas ajakan itu dengan satu kata sentral dari Bahasa Itali "attraversiamo", artinya "ayo kita seberangi".

(ANT/B010)

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010