Jakarta (ANTARA) - Lembaga riset ekonomi bidang tambang dan energi ReforMiner Institut merilis studi terbaru tentang pemanfaatan panas bumi yang dapat menghemat devisa impor migas.
"Pemanfaatan tenaga listrik panas bumi (PLTP) yang digunakan untuk mensubstitusi tenaga listrik dari BBM (PLTD) dapat menghemat kebutuhan devisa impor migas dalam jumlah yang cukup signifikan," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institut Komaidi Notonegoro dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, neraca impor migas meningkat sebanyak 239,38 persen secara year on year (yoy) pada Juni 2021. Kondisi itu menyebabkan peningkatan kebutuhan devisa impor migas untuk bahan bakar PLTD.
Kajian terbaru ReforMiner menjelaskan peningkatan kebutuhan devisa impor migas, akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, berpotensi memberikan dampak negatif bagi perekonomian nasional.
Aspek moneter dari impor migas berpotensi menyebabkan defisit neraca dagang dan depresiasi nilai tukar rupiah, sedangkan untuk fiskal berpotensi menambah kebutuhan anggaran subsidi di APBN.
Sementara bagi sektor riil berpotensi menurunkan daya saing barang dan jasa yang diproduksi.
"Pemanfaatan panas bumi dapat menjadi salah satu instrumen untuk mengurangi kebutuhan devisa impor migas," ujar Komaidi.
Dalam kajian terbaru itu disebut bahwa kebutuhan untuk membangkitkan satu megawatt PLTD memerlukan sekitar 47,30 barel BBM per hari, sehingga Indonesia memerlukan sekitar 93,34 juta barel BBM per tahun.
Jika PLN mensubstitusi produksi listrik dari PLTD menggunakan pembangkit berbasis panas bumi, maka negara akan menghemat devisa impor migas lebih dari 1,67 miliar dolar AS per tahun.
Pembangkit bertenaga panas bumi mampu menghasilkan listrik sekitar tujuh kali lebih besar dibandingkan pembangkit bertenaga diesel.
Faktor kapasitas PLTP sekitar 70-76 persen menduduki posisi tertinggi kedua setelah pembangkit listrik tenaga nuklir yang memiliki kapasitas antara 87,94 persen.
"Selain dapat mengurangi kebutuhan devisa impor migas, pemanfaatan dan pengusahaan panas bumi juga memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara bukan pajak (PNBP) di APBN," pungkas Komaidi.
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) komponen PNBP panas bumi yang disetorkan kepada negara meliputi pendapatan pengusahaan panas bumi, pendapatan iuran tetap eksplorasi, pendapatan iuran tetap operasi, dan pendapatan iuran produksi atau royalti.
Saat ini pengusahaan panas bumi merupakan satu-satunya pengusahaan di sub-sektor energi baru terbarukan yang telah memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara.
Selain memberikan kontribusi bagi keuangan pemerintah pusat, pengusahaan panas bumi juga memberikan kontribusi terhadap keuangan daerah.
Kontribusi sub-sektor panas bumi terhadap keuangan daerah melalui transfer dana bagi hasil sumber daya alam panas bumi dan bonus produksi panas bumi.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014, bonus produksi panas bumi diberikan kepada wilayah administratif di mana panas bumi tersebut diusahakan yang dilakukan sejak unit pertama PLTP beroperasi secara komersial.
"Bonus produksi panas bumi ditetapkan sebesar 0,5 persen untuk perjanjian jual beli listrik dan satu persen untuk perjanjian jual beli uap," pungkas Komaidi.
Baca juga: BNI biayai 34 juta dolar untuk dua PLTP Geo Dipa
Baca juga: Mengantisipasi ancaman gempa dibalik proyek PLTP Bengkulu
Baca juga: PLN siap kembangkan energi panas bumi 20 MW di Mataloko
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021