menjadi suatu kekuatan yang dapat memperlihatkan akuntabilitas pendidikan, tidak hanya berfokus pada kegiatan belajar mengajar, juga memperhatikan kegiatan risetnya

Depok (ANTARA) - Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof. Ari Kuncoro menegaskan bahwa pihaknya selalu melakukan dan menghasilkan riset dan inovasi yang mengedepankan keunggulan, juga relevan dengan situasi di masyarakat.

"Pada situasi pandemi ini UI telah memberikan sumbangan penting dan nyata di berbagai bidang, seperti inkubator, ventilator, Pusat Krisis Pelayanan Pasien COVID-19, seminar, dan workshop yang berkaitan dengan ketahanan masyarakat dalam menghadapi COVID-19," kata Ari Kuncoro dalam keterangannya, Sabtu.

Ia mengatakan Senat Akademik UI telah banyak menghasilkan norma yang berkaitan dengan kegiatan akademik UI. Saya mengapresiasi Senat Akademik UI yang telah menyelenggarakan berbagai kegiatan diskusi.

"Diskusi selalu memberikan pencerahan, terobosan atau solusi, terhadap masalah yang kita hadapi saat ini," katanya.

Senat Akademik Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan Diskusi Satu Hari Senat Akademik Komisi-2 dengan mengangkat tema “Regulasi untuk Akselerasi Inovasi UI” yang dilaksanakan secara daring.

Ketua Senat Akademik UI, Prof. Nachrowi Djalal Nachrowi menyampaikan bahwa dalam kaitannya dengan pentingnya riset dan inovasi, Senat Akademik UI merasa perlu menyusun regulasi yang dapat mempercepat proses inovasi di UI.

"Inovasi harus terus dilakukan terutama dalam membentuk terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadi suatu kekuatan yang dapat memperlihatkan akuntabilitas pendidikan, yang tidak hanya berfokus pada kegiatan belajar mengajar, juga memperhatikan kegiatan risetnya," katanya.


Prof. Nachrowi mengatakan bahwa ia dan anggota Senat Akademik lainnya telah berdiskusi mengidentifikasi kendala inovasi di UI dengan para peneliti, para pimpinan di UI dan fakultas, dan juga dengan pihak eksternal seperti Kepala BRIN dan lainnya.

Kendala inovasi itu ada empat, yang pertama adalah yang berkaitan dengan inovator dan UI, di mana inovator merasa tidak optimal dibantu oleh UI, kemudian mencari sendiri investor dan berakhir timbul dispute antara UI dan inovator.

Kedua, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM RI, memberikan evaluasi bahwa UI kurang aktif mengurus pengaturan royalti para inovatornya. Ketiga, kolaborasi dengan industri dinilai agak telat sehingga arah inovasi tidak/kurang selaras dengan kebutuhan pasar/masyarakat dan spesifikasinya kurang efisien.
Baca juga: Riset Psi UI : Resiliensi orang Indonesia cenderung rendah
Baca juga: Kemristek dukung UI dan Merck kolaborasi lab untuk riset berkualitas

Terakhir, perlu ada lembaga yang membantu inovator mengomersialisasikan produknya, membantu merancang business plan, marketing, dan sebagainya sehingga inovator dapat fokus ke penelitian dan menemukan produk baru.

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) RI, Dr. Laksana Tri Handoko memaparkan cara ekosistem riset dan inovasi di dalam universitas meliputi interaksi dengan pihak swasta/industri, internal, dan eksternal termasuk masyarakat. Menurutnya, diperlukan hukum 10 persen dari ekosistem riset dan inovasi.

Artinya, misal terdapat 10.000 riset, maka minimal 10 persen nya menjadi invensi dalam bentuk karya tulis ilmiah (KTI).

Proses riset dan menghasilkan invensi ini merupakan proses fundamental dalam jangka panjang untuk membentuk aset/tabungan pengetahuan, dan yang terpenting menghasilkan budaya riset dan kreatif serta penciptaan SDM unggul.

Kepala BRIN tersebut mengungkapkan bahwa berdasarkan data, invensi di Indonesia lemah sehingga komersialisasinya nol. Oleh karena itu, menurutnya UI sebagai lembaga riset diharapkan fokus menghasilkan invensi, baik yang menjadi paten, atau berupa KTI.

Dalam mewujudkan World Class (Research) University, indikator utamanya adalah riset dengan tiga komponen yaitu SDM unggul 70 persen, infrastruktur 20 persen, dan anggaran 10 persen.

Dr. Laksana Tri Handoko menyampaikan tiga hal yang menjadi fokus dari riset sebuah universitas yaitu kuantitas dan kualitas keluaran riset, penguatan budaya riset untuk menguatkan keluaran, dan manajemen riset internal.

Terkait manajemen riset, Handoko menekankan bahwa perlu menciptakan kompetisi di semua level dengan sistem insentif/ disinsentif.

"Di lain sisi, regulasi pendorong sebagai percepatan peningkatan kapasitas kompetensi riset dan inovasi relatif sudah komplit. Ada yang baru yaitu insentif untuk inventor/pelaku riset, di mana 40 persen nilai dari lisensi sebagai royalti ke tim inventor," ujar Handoko.

Ia berharap regulasi ini bisa segera diadopsi di UI.
Baca juga: Perpustakaan UI bervisi jadi perpustakaan riset berkelas dunia
Baca juga: Dirut RSUI lakukan riset pertama obat klopidogrel di Indonesia
Baca juga: Lembaga Manajemen FEB UI luncurkan dua unit bisnis riset

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2021