Magelang (ANTARA News) - Warga yang tinggal di kawasan lereng Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan siap mengungsi apabila gunung berapi tipe awan panas itu meletus.
"Tentu kalau memang sudah dianggap kritis, kami akan mengungsi ke tempat aman," kata Paridi (68), seorang warga Dusun Tangkil, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu.
Ia mengatakan, warga setempat yang berjumlah sekitar 60 kepala keluarga dan tinggal sekitar delapan kilometer barat puncak Merapi itu, memiliki kearifan lokal dalam menyikapi erupsi Merapi.
Status aktivitas vulkanik Gunung Merapi saat ini "Waspada" atau setingkat di atas level terendah yakni "Aktif Normal". Status Merapi meliputi "Aktif Normal", "Waspada", "Siaga", dan "Awas".
Peningkatan aktivitas Merapi itu diumumkan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta pada 23 September 2010.
Merapi berada di fase erupsi terakhir pada pertengahan 2006 antara lain ditandai dengan semburan awan panas, luncuran lava pijar, hujan abu, dan guguran material secara intensif.
"Kalau seperti sekarang yang masih `Waspada` ini belum apa-apa, masyarakat masih beraktivitas seperti hari-hari biasa, mencari rumput, kayu bakar, bekerja di sawah dan ladang, seperti biasa meskipun mulai lebih banyak memperhatikan puncak Merapi," paparnya.
Biasanya, katanya, warga setempat akan memperhatikan secara saksama setiap perkembangan fase erupsi Merapi antara lain melalui berbagai tanda alam dan peringatan dari pemerintah.
Ia menyatakan berterima kasih karena pemerintah kabupaten setempat yang saat ini telah menyiapkan berbagai keperluan untuk pengungsian warga lereng Merapi.
"Setidaknya memang lima tahun sekali Merapi meletus, kami memperhatikan soal itu," ucapnya.
Seorang warga setempat lainnya, Parto Parsin (82), mengaku, mengalami letusan besar Merapi pada era 1930-an dan 1960-an.
"Para pendahulu dusun kami berpesan, kalau Merapi sedang `bekerja` supaya warga tetap tenang, ikut prihatin dan selalu berdoa, memerhatikan situasi, tidak boleh bicara sembarangan, supaya tidak menjadi korban," tuturnya.
Masyarakat setempat, lanjutnya, menyebut fase erupsi Merapi sebagai "Mbahne lelaku", maksudnya penguasa alam gaib di puncak Merapi sedang bekerja.
Ia mengaku, beberapa kali mengungsi ke desa di kawasan yang lebih aman ketika Merapi meletus.
"Yang tahun kemarin (Letusan 2006, red.) saya juga mengungsi ke Banyodono (SD Negeri Banyudono, Kecamatan Dukun, red.) empat hari, tetapi letusan kemarin itu tidak termasuk besar, tidak seperti 1930 dan 1960. Yang tahun 1960 itu tepat Hari Selasa Wage (Kalender Jawa,red) kira-kira pukul 10.30 WIB," katanya dalam bahasa Jawa.
Warga, menurut dia, mulai bersiap mengungsi jika sudah mengetahui kemungkinan arah letusan gunung itu. Arah letusan Merapi mulai bisa ditentukan ketika sudah terlihat posisi titik api diam di puncak Merapi.
Ia mengatakan, tidak semua warga harus mengungsi saat Merapi meletus. Mereka yang laki-laki dewasa dan kuat harus tetap di rumah untuk menjaga dan memberi makan ternak.
Sutar (39), seorang petani warga Dusun Grogol, Desa Mangunsuko, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, mengatakan, erupsi Merapi sebagai berkah atas petani setempat yang tinggal sekitar 11 kilometer barat puncak gunung itu.
"Kami menganggap kalau Merapi meletus itu sebagai berkah dan karya Tuhan yang selalu ingin kami saksikan. Tetapi ada saatnya kami anggap sebagai bahaya, sehingga warga harus mengungsi," ujarnya.
Ia mengatakan, abu Merapi menyuburkan lahan pertanian mereka.
Pada kesempatan lain, Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Penanggulangan Bencana Pemerintah Kabupaten Magelang Eko Triyono mengatakan, pemkab setempat mulai melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi fase erupsi Merapi.
Sedikitnya, dana sekitar tiga miliar rupiah telah disiapkan pemkab setempat terutama untuk menangani pengungsian warga berasal dari berbagai desa yang rawan letusan Merapi.
Jumlah posko penanganan pengungsi ditambah dari 32 menjadi 52 unit.
(M029/C004/S026)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010