Oleh Petrus Suryadi Sutrisno
Jakarta (ANTARA News) - Proses pematangan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) pilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Komisaris Jenderal Polisi (Irjenpol) Timur Pradopo, terus berjalan mengalir seperti air.
Timur Pradopo karirnya menepis pro-kontra maupun resistensi dari beberapa pihak yang mempermasalahkannya sampai pada proses uji kepatutan sekaligus kelayakan oleh Komisi III DPR RI.
Ketika Timur Pradopo bertugas selaku Kepala Kepolisian Daerah Metrojaya Jakarta tidak banyak pihak yang memberikan komentar, bahkan nyaris tidak ada resistensi apapun. Bahkan, Orang tidak mengusik Timur Pradopo terlibat atau bertanggungjawab atas kasus Trisakti di awal Reformasi 1998.
Saat Timur Pradopo dinaikkan pangkat dari inspektur jenderal polisi (irjenpol) ke di bintang (komjenpol) pun suasana relatif tenang. Namun, selang lima jam kemudian saat namanya disebut sebagai calon tunggal Kapolri yang akan diajukan ke DPR RI, maka suara pro-kontra dan perdebatan serta resistensi muncul dari berbagai pihak.
Beberapa pihak mempertanyakan bahkan muncul juga kecenderungan resistensi terhadap pencalonan Timur Pradopo, antara lain suara atau sikap terseut datang dari Indonesia Police Watch, komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), serta Forum Studi Aksi Demokrasi Heboh.
Ada komisioner Kompolnas beranggapan bahwa pencalonan Timur Pradopo sebagai Kapolri tidak melalui mekanisme pertimbangan komisi itu layaknya disebutkan dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri. Bahkan, ada pihak yang mempersoalkan pengangkatan Timur Pradopo prosesnya terkesan dipaksakan seperti kenaikan pangkat Timur Pradopo dua kali dalam satu tahun.
Pihak yang mempertanyakan keterlibatan Timur Pradopo dalam Tragedi Trisaksi ketika ia menjabat sebagai Kepala Kepolisian Resor Jakarta Barat (Kapolres Jakbar) terasa menjadi hal yang dipolitisir. Oleh karena, saat itu, tahun 1998 struktur Polri dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) berada dalam satu atap dan satu garis komando, sehingga menjadikan beberapa kerancuan khususnya dalam situasi operasi tertentu.
Tahun-tahun 1997/1998 merupakan suatu situasi di mana Komando Tertinggi untuk mengendalikan keamanan ibukota berada sepenuhnya di tangan Panglima Komando Militer Jakarta Raya (Pangdam Jaya), yang waktu itu dijabat oleh Mayjen TNI Sutiyoso. Kewenangan dan tanggungjawab operasi pengamanan ibukota membuat semua Kapolres atau kesatuan lain dari Markas Besar (Mabes) Polri atau Polda Metrojaya berada di Bawah Komando Operasi (BKO) Pangdam Jaya.
Bahkan, ada seorang komandan kesatuan tertentu dari Polda Metrojaya berpangkat letnan kolonel polisi yang masih punya naluri dan pertimbangan khusus secara tegas menolak perintah Pangdam Jaya karena pertimbangan HAM dan rasionalitas komando untuk mengeksekusi tindakan tertentu yang dapat dipastikan membawa korban jiwa yang tidak sedikit.
Dalam konteks yang lebih luas sebenarnya banyak faktor lain yang juga ikut menentukan mengapa seorang Timur Pradopo akhirnya muncul sebagai calon tunggal Kapolri pilihan Presiden RI. Ada faktor politik, non-politik, catatan pribadi (personal record), jenjang kemampuan (merrit rating), dinamika organisasi Polri, dan tentu saja hak prerogatif Presiden.
Munculnya nama calon Kapolri yang semula beberapa orang kemudian berputar mengerucut menjadi calon tunggal sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan karena beberapa indikator yang muncul ke permukaan dalam konteks calon Kapolri sudah dapat dibaca secara jelas.
Ketidak mampuan atau ketidakcermatan dalam membaca indikator-indikator tersebut telah membuat banyak orang atau pihak mempermasalahkan atau mempertanyakan beberapa hal yang terkait atau dikaitkan dengan pencalonan Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kapolri. Harusnya beberapa pihak tersebut bersikap kritis sejak nama Timur Pradopo muncul sebagai Kapolda Metrojaya.
Banyak pihak atau orang juga harus kritis dan membaca indikator mengapa nama Komjenpol Ito Sumardi tiba-tiba muncul di media massa ketika ia menyatakan siap menjadi calon Kapolri jika memang pimpinan dan Presiden RI menugaskannya.
Masuknya nama Komjenpol Ito Sumardi di media massa secara tiba-tiba dapat diartikan sebagai pemancing reaksi (proof balloon) untuk mengukur reaksi, tanggapan dan resistensi jika sebuah nama lain yang tidak masuk dalam bursa pencalonan tiba-tiba dimunculkan, serta namanya juga tidak digadang-gadang.
Komjenpol Ito Sumardi namanya tidak masuk dalam bursa calon bersama Komjenpol Nanan Sukarna dan Komjenpol Imam Sujarwo, tapi nama Ito Sumardi masuk dalam lingkaran calon Kepala Polri pada putaran akhir. Nama Ito Sumardi muncul hanya sebagai patroli pengawal (voorrijder) yang sengaja dikepas untuk melapangkan jalan bagi Timur Pradopo.
Analisis intelijen sirkular (circular intelligence analysis) dengan dukungan indikator sandaran (support-indicator), indikator pendamping (side-indicator),indikator pembanding (reference-indicator), indikator penentu (determinant-indicator), dan indikator semu/solah-olah (pseudo-indikator) terlihat memberikan beberapa pertanda yang jelas bahwa dengan Timur Pradopo mendapat tugas sebagai Kapolda Metrojaya, maka terdapat calon kuat yang tidak diperhitungkan banyak pihak atau “kuda hitam” calon Kapolri telah dimunculkan.
Proses seleksi secara alamiah seperti yang disampaikan para pakar dan pengamat kepolisian tentang siapa-siapa yang berpotensi untuk dinominasikan sebagai calon Kapolri juga sudah jelas, ketika Nanan Sukarna dipromosikan dari Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Mabes Polri menjadi Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Mabes Polri.
Beberapa indikator alamiah melekat pada Nanan Sukarna yang tercatat sebagai lulusan terbaik, nomor satu, dan pemegang pedang Adhimakayasa Akademi Kepolisian (Akpol) angkatan tahun 1978.
Nanan Sukarno berhasil meraih pangkat bintang satu yang pertama dari angkatannya di Akademi Kepolisian 1978, ketika ia dipromosi sebagai Wakapolda Metrojaya. Bintang duanya diperoleh saat ia menjadi Kapolda Sumatera Utara (Sumut). Tapi, Nanan “terpaksa” kembali ke Jakarta karena aksi unjuk rasa dan kekerasan berujung tewasnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumut. Proses seleksi secara alamiah merujuk pada indikator bahwa Nanan Sukarna adalah calon potensial untuk menjadi orang nomor satu di Mabes Polri.
Memang karier Nanan Sukarna layak dan membuka peluang baginya untuk secara alamiah jika ia terus berprestasi dengan nilai "merrit" yang tetap unggul. Ia memiliki “paspor” bahkan "kata kunci" (password) untuk menjadi Kapolri. Tetapi, masa depan dan perjalanan karir seorang perwira tinggi (pati) Polri layaknya Nanan Sukarna tidak ditentukan hanya oleh “garis tangan“ semata karena juga ditentukan oleh “tangan-tangan tidak kelihatan” (the invisible hands), yang mengubah nasib dan menentukan arah masa depan. Oleh karena itulah, proses seleksi alamiah seorang pati Polri untuk menjadi orang nomor satu yang di Mabes Polri tidak selalu berjalan linier dan mulus.
Pembinaan dan penyiapan seorang perwira Polri secara alamiah berangkat dari pangkat dan jabatan terbawah dan terus bergerak ke arah jenjang yang lebih tinggi dan teratas, serta terus berjalan mengerucut mengikuti piramida terbalik sejak seorang perwira Polri bertugas di Pos Polisi, Polsek, Polres, Polda dan komando utama (kotama) Polri, serta Mabes Polri.
Di Mabes Polri tercatat bahwa Kapolda Metrojaya sampai saat ini masih memegang rekor terbanyak yang menjadi Kapolri. Di Polri sejarah seorang Pati Polri berbintang dua yang menjabat sebagai Kapolda yang dipersiapkan dan dipromosikan menjadi calon Kapolri bukan merupakan suatu hal yang luar biasa karena pernah terjadi sebelumnya ketika Banurusman Astrosemitra dan Dibyo Widodo menjadi Kapolda Metrojaya kemudian sebagai Calon Kapolri.
Dalam catatan Mabes Polri hal ini sebenarnya tidak ada “pengkarbitan” seorang pati bintang dua Mabes Polri untuk menjadi calon Kapolri karena beberapa di antara mereka memang telah disiapkan untuk kemudian dilantik sebagai Kapolri dengan pangkat bintang tiga.
Seorang perwira Polri dan juga TNI sejak mereka lulus Akpol dan Akademi Militer (Akmil) dengan Letnan Dua dan/atau kini Inspektur Polisi Dua mengalami proses pematangan secara alamiah-dapat mencapai jenjang tertinggi sampai tingkat Kolonel atau kini Komisaris Besar Polisi.
Pematangan karir seorang Perwira Polisi secara alamiah terus mengerucut mengikuti piramida terbalik dari jenjang lapis perwira pertama dan perwira menengah memaksa semua perwira bersaing dan menempa diri, agar lolos dan berhasil mencapai jenjang lapis perwira tinggi bintang satu dan pangkat tertinggi bintang dua.
Perjalanan atau jenjang karir dan pangkat tertinggi seorang perwira Polri adalah Perwira Tinggi Polri bintang dua. Mereka yang berkesempatan meraih pangkat bintang tiga dan bintang empat adalah benar-benar sedikit perwira yang memiliki prestasi, garis tangan dan nasib baik, serta terkena sentuhan “the invisible hands”.
Pada era TNI dan Polri masih berada di satu komando dan bahkan sampai kini, tidak dikenal istilah “pengkarbitan” bagi para patinya untuk menduduki jenjang karier dan pangkat yang lebih tinggi.
Di TNI AL, seorang Panglima Komando TNI Angkatan Laut (AL) Armada Barat (Pangko Armabar) atau Armada Timur (Pangko Armatim) yang dijabat oleh Pati TNI AL berbintang dua layak dan pernah menjadi calon Kepala Staf TNI AL. Pati TNI AL itu bisa langsung dipromosi sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasal), dan masih ada pula yang berpangkat bintang tiga ketika dilantik oleh Presiden RI sebagai Kasal.
Kenaikan pangkat bagi seorang perwira Polri atau TNI dua kali dalam setahun bisa saja terjadi, karena baik dalam lingkup Polri maupun TNI dikenal istilah “kenaikan pangkat luar biasa(LB), apalagi jika jabatan selanjutnya adalah jabatan tertinggi di lingkungan Polri atau TNI AD, TNI AL dan TNI Angkatan Udara (AU).
*) Petrus Suryadi Sutrisno (piets2suryadi@yahoo.com) adalah Direktur Eksektif Lembaga Kajian Informasi, dan Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS).
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010