Banda Aceh (ANTARA News) - Dengan tubuh gemetar, perempuan desa itu melangkahkan kakinya memasuki ruang ber-AC di kediaman Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.

Perempuan tua benama Ainul Mardiah (70) itu tak bisa menyembunyikan perasaannya yang bercampur aduk, antara harapan, heran, kagum dan malu.

Ia malu dan juga minder, karena merasa orang kampung miskin yang tak pantas bertamu ke gubernurnya.

Namun, demi memperjuangkan nasib anaknya yang terancam hukuman mati, malu dan minder lenyap dari perempuan tua asal Kecamatan Mamplam, Kabupaten Bireuen itu.

"Siang dalam malam, tidak henti-hentinya saya berdoa agar anak saya bisa terhindar dari ancaman hukuman gantung di Malaysia," akunya.

Ainul Mardhiah ternyata tidak sendiri. Ada sembilan warga Bireun yang senasib dengannya, dan mereka berharap Gubernur Aceh mengajukan permohonan ampun dan keringanan hukuman yang dijatuhkan kepada anak-anak mereka.

"Saya sangat berharap Pak Wandi bisa membantu kami, saya tidak yakin anak saya terlibat menjual ganja. Saat di kampung dia anak yang baik, bahkan tidak merokok sama sekali," papar Ainul Mardhiah, dalam bahasa Aceh yang kental.

Bustaman bin Bukhari (37) adalah anak kedua dari tiga bersaudara hasil pasangan Bukhari (kini sudah almarhum) dan Ainul Mardhiah (70).

Akibat desakan ekonomi, pada 1995 Bustaman memutuskan mengadu nasib ke negeri jiran Malaysia.

Sejak umur tujuh tahun, Bustaman sudah ditinggal sang ayah. Dan sebagai anak laki-laki, dia mengambilalih tanggungjawab almarhum ayahnya, menafkahi keluarganya.

Ajakan bekerja dengan bayaran tinggi di Malaysia, membuat pemuda kelahiran 28 Juli 1973 segera pergi meninggalkan keluarga, mencari peruntungan di negeri yang selalu menjadi incaran banyak warga Aceh.

Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, belum sepekan tiba di Malaysia, dua tangan Bustaman diikat borgol oleh polisi diraja Malaysia. Dia dituduh menjual dadah (ganja).

Lupakan angan-angan

Akibat tuduhan itu, Bustamam harus memupus angannya menjadi "orang sukses", bahkan untuk sekedar kembali ke keluarganya di Aceh pun tidak bisa, karena harus mendekam di penjara Malaysia.

Ainul Mardhiah tak mampu membendung air matanya yang terus mengalir itu.

Dia mengaku, selama empat tahun buah hatinya merantau, dia baru mengetahui Bustaman dipenjara dengan tuduhan menjual ganja di Malaysia.

"Setelah empat tahun Bustaman dipenjara, baru saya mendapat kabar yang sangat mengejutkan. Selama di kampung, anak saya tidak pernah mengenal ganja, bahkan merokok juga tidak," kata wanita yang sehari-hari berkeja sebagai petani itu.

Ainul Mardhiah semakin kaget, bahkan merasa disambat petir di siang bolong, setelah mendapati berita anak tersayangnya diputus hukuman gantung sampai mati.

"Saya syok. Setelah 15 tahun tidak lagi bertemu, tiba-tiba saja mendengar keputusan hukuman mati bagi anak saya," kata dia.

Sejak menerima berita itu, Ainul tidak pernah bisa tidur, dan terus menangis. "Hanya berdoa yang bisa saya lakukan," katanya.

Ainul sangat berharap gubernur bisa membantunya mengurangkan hukuman untuk anaknya itu, setidaknya tidak sampai dihukum mati.

"Tak ada yang bisa kami lakukan, meski sesekali hanya berkomunikasi lewat telepon. Tarakhir saya mendengar suaranya bulan Ramadaan lalu dan mengabarkan kalau ia sudah menamatkan lima kali bacaan Alquran," tuturnya.

Perempuan itu tampak cukup lelah dalam penantian.

Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KONTRAS) Aceh, mengungkapkan, tak hanya Bustamam yang sedang menanti ajal di tiang gantungan, tapi juga dua warga Aceh lainnya.

Mahkamah Rayuan Malaysia telah menetapkan Tarmizi bin Yakob dan Ruslan alias Parlan bin Dadeh juga dengan hukuman serupa dengan Bustaman.

Data hasil investigasi Pemerintah Aceh pada 2007 sendiri memperlihatkan, 262 warga Serambi Mekah sedang menjalani hukuman di Malaysia. 195 orang sedang menjalani proses hukum dan terancam hukuman mati.

Lima orang sedang menunggu hasil banding dari Mahkamah Agung, tiga orang divonis hukuman mati di Mahkamah Rayuan, dan 39 lainnya dipenjara dengan tuduhan membawa dan memakai ganja, namun kadarnya lebih rendah sehingga tidak dihukum mati.

Selain kasus narkoba, 20 warga Aceh tersangkut masalah hukum lain, yaitu 19 orang terkena pelanggaran imigrasi, dan satu orang terlibat kepemilikan senjata api ilegal.

Pasal 39A, 39B dan 15A Undang-undang Narkotika Malaysia (Akta Dadah Berbahaya 234/1952) mengancam para pengedar narkotika dengan hukuman mati. Namun bagi para pemakai tidak akan dikenai hukuman mati. (*)

ANT/H-KWR/AR09

Oleh Daspriani Y Zamzami
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010