Ambon (ANTARA News) - Pengamat politik Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Prof DR Tony Pariela, MA, menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak perlu mengkhawatirkan isu akan adanya aksi demonstrasi besar pada 20 Oktober mendatang untuk menurunkannya dari jabatan Kepala Negara.

"Presiden SBY tidak perlu khawatir dengan isu demonstrasi besar-besaran yang akan dilakukan sejumlah kelompok menandai satu tahun pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II," kata Pariella, kepada ANTARA, di Ambon, Kamis.

Dia mengatakan, aksi demonstrasi besar-besaran tidak bisa dijadikan alasan kuat menurunkan SBY sebagai Kepala Negara.

Dia mengakui, kepemimpinan SBY dalam Kabinet Indonesia Bersatu II tidak luput dari berbagai kekurangan, tetapi masih dikategorikan wajar sehingga tidak ada alasan untuk menurunkannya.

"Sikap Presiden SBY yang terkesan lambat dalam menangani masalah Malaysia maupun keputusan membatalkan kunjungan ke Belanda serta permasalahan ekonomi dan politik lainnya tidak bisa dijadikan alasan untuk mendesak SBY mudur," tandasnya.

Pariela berpendapat, kepemimpinan SBY yang cenderung memilih jalan diplomasi guna menghindari konflik sangat dipengaruhi budaya orang Jawa.

"Kepemimpinan seseorang turut dipengaruhi budayanya termasuk SBY yang menganut budaya Jawa. Karena itu wajar bila ada kalangan tertentu tidak menyukainya dan kemudian menyebarkan isu untuk menurunkan SBY dari jabatannya sebagai Presiden," ujarnya.

Pariella juga menyatakan masyarakat sebaiknya tidak terpengaruh isu-isu negatif termasuk menurunkan SBY.

Menurunkan seorang presiden, katanya, harus melalui tahapan dan sesuai konstitusi atau UUD negara.

"Berbeda dengan yang terjadi terhadap Soeharto saat reformasi, yang melibatkan sebagian besar komponen bangsa dan merusak berbagai tatanan kehidupan di Indonesia," katanya.

Pariella juga menyatakan peristiwa reformasi harus menjadi pembelajaran seluruh masyarakat, terutama jika ingin menyampaikan kritik kepada pemerintah.

Ketika ditanyakan motivasi di balik isu demonstrasi menurunkan SBY, Pariella menyatakan, "Isu ini sengaja dihembuskan dan memiliki beberapa tujuan, di antaranya harapan masa depan Indonesia yang semakin baik dan Presiden SBY menjadi lebih tegas dalam kepemimpinannya, atau sekadar dihembuskan pihak-pihak yang tidak puas dengan kepemimpinan SBY."

"Saya sendiri berharap tekanan-tekanan seperti ini akan berdampak Presiden SBY menjadi lebih peka dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi di tanah air," katanya.

Di tempat terpisah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Prof. DR M.J. Sapteno, SH, M.Hum meminta masyarakat di tanah air tidak terpengaruh isu penurunan SBY dari jabatan Presiden.

"Isu itu sengaja dimainkan lawan-lawan politik SBY guna mencari kelemahan sistem pemerintahannya demi pemenuhan kepentingan tertentu," kata Sapteno.

Menurut dia, Presiden SBY bisa diturunkan dari jabatannya hanya jika terbukti melakukan kebijakan yang merugikan masyarakat maupun harkat serta martabat bangsa dan negara.

"Presiden bisa ditunkan dari jabatannya jika telah melakukan pelanggaran berat, korupsi atau kebijakan-kebijakan yang merugikan negara," katanya.

Sapteno menilai pemerintahan yang dijalankan SBY saat ini masih relevan serta tidak melanggar aturan yang berlaku.

"Jika ada yang menilai Presiden lamban dalam bertindak untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa, hal itu semata-mata karena SBY lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan, sehingga tidak bisa dijadikan alasan untuk menurunkannya dari jabatan," katanya. (*)
(ANT-257/J007/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010