Jakarta (ANTARA News) - Dewan Pers dan sejumlah tokoh pers berpendapat, negara atau pemerintah telah gagal memberikan keadilan dan kepastian hukum terhadap pers, salah satunya kasus pembunuhan wartawan Bernas, Muhammad Fuad Syafrudin alias Udin.
"Kami berpendapat terjadi pembiaran dalam kasus pembunuah Udin, sehingga kasus tersebut menjadi kedaluarsa yang berakhir pada Agustus 2010 lalu, sehingga tidak bisa lagi diproses secara hukum," kata Anggota Dewan Pers, Uni Lubis, dalam diskusi "Kriminalisasi Pers" di Dewan Pers, Jakarta, Selasa.
Pernyataan tentang negara telah gagal memberikan keadilan terhadap pers dituangkan dalam pernyataan bersama "Menyikapi Kekerasan dan Pemidanaan Terhadap Wartawan" antara Dewan Pers, sejumlah tokoh pers dan pekerja pers.
Sejumlah tokoh pers yang menandatangani pernyataan bersama itu, antara lain Rosihan Anwar, Djafar Assegaf, Atmakusumah, mantan wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, Don Bosco (SCTV), Arief Suditomo (RCTI) dan Ketua Umum PWI Pusat Margiono serta para pekerja pers.
Dalam pernyataan bersama itu juga dinyatakan bahwa Dewan Pers dan tokoh pers dengan tegas menolak kriminalisasi terhadap wartawan karena nyata-nyata bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers sebagai salah satu pilar demokrasi yang selalu ingin ditegakkan oleh pemerintah saat ini.
"Pemerintah selalu beranggapan telah sukses membangun demokrasi, namun kenyataannya kebebasan pers sering terancam," kata Uni Lubis yang juga sebagai Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Profesi Wartawan di Dewan Pers.
Mereka juga berpendapat bahwa penerapan dan pemenjaraan terhadap wartawan tidak dibenarkan karena bertentangan dengan semangat kemerdekaan berekspresi dan kemerdekaan pers, seperti pemidanaan Pemred Majalah Playboy Indonesia, Erwin Arnada, kasus yang dialami kontributor Trans TV di Pematang Siantar Andi Irianto Siahaan dan proses pemidanaan yang masih berlangsung, misalnya Harian Radar Banyumas dan Radar Tegal.
Uni menilai pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh pekerja pers yang ada di lapangan seharusnya diselesaikan dengan menggunakan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukan UU pidana yang selama ini digunakan.
"Kami menyesalkan adanya aparat penegak hukum yang menggunakan UU pidana dalam masalah pers," tegasnya.
Pernyataan sikap itu akan disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar pemerintah juga memberikan perhatian lebih kepada kebebasan pers.
"Kami juga akan mengedarkan pernyataan sikap itu ke beberapa daerah. Tidak hanya pekerja pers atau tokoh pers saja yang bisa ikut menandatangani pernyataan bersama itu, melainkan aktivis yang peduli terhadap kebebasan berekspresi, baik bloger, jurnalis, warga maupun pelaku seni," kata Uni Lubis.
Sementara itu, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, kasus-kasus kekerasan yang dihadapi oleh sejumlah pekerja media akan disampaikan kepada Presiden Yudhoyono.
"Pagi tadi kami sudah mendapatkan jawaban. Presiden akan bertemu dengan Dewan Pers," katanya.
Namun, dirinya belum mengetahui jadwal pasti pertemuan dengan Presiden.
"Kami akan menyampaikan kasus-kasus kekerasan dan kriminalisasi yang masih dihadapi oleh pers," ujarnya.
Dewan Pers menyayangkan keputusan MA yang memidana Erwin Arnada karena pemidanaan tidak berdasarkan UU Pers, melainkan KUHP. Terlebih, Dewan Pers tidak dilibatkan.
Ia menambahkan, kasus tersebut menunjukkan bahwa Indonesia belum memahami prinsip kemerdekaan pers.
"Wartawan itu boleh dihukum, tetapi sanksinya bersifat mendidik sesuai UU Pers. Kecuali menyangkut tindakan kriminal, misalnya penipuan, sebagai warga negara wartawan bisa saja dipidanakan," tutur Agus.(*)
(T.S037/I007/R009)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010