"Ada tiga bagian yang perlu disempurnakan, yakni kerangka konseptual, usulan pasal per pasal, dan rekomendasi umum," katanya pada uji publik draft RUU Cagar Budaya yang digelar Komisi X DPR di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu.
Menurut dia, pasal-pasal dalam draft RUU Cagar Budaya hanya memperlihatkan sebagian materi yang bisa disebut cagar budaya. Oleh karena itu, jika draft itu lantas diberi nama cagar budaya, tentu akan menimbulkan ketimpangan.
"Sebagian besar orang tahu cagar budaya meliputi materi `tangible` dan `intangible`. Keduanya tidak dapat dipisahkan begitu saja, sehingga menjadi ideal jika yang `tangible` dan `intangible` tertampung dalam draft RUU Cagar Budaya," katanya.
Ia mengatakan, jika mencermati isi dan substansi, draft itu hanya mencakup tentang pelestarian cagar budaya yang "tangible" atau dalam istilah lain disebut ragawi, berwujud, bendawi atau peraga, sehingga substansi draft RUU Cagar Budaya tidak mengakomodasi yang "intangible".
"Cagar budaya yang `intangible` tidak banyak disebut, sehingga menjadikan pertanyaan cagar budaya itu pengertiannya seperti apa. Oleh karena itu, perlu dipersempit dari sisi judulnya terlebih dulu," katanya.
Menurut dia, pelestarian tidak sekadar melestarikan benda tetapi justru ingin memperoleh manfaat, seperti nilai-nilai. Misalnya Borobudur dan Prambanan yang menunjukkan adanya corak multikebersamaan atau "interreligion" di dalamnya.
"Dalam konteks itu yang terpenting bukan bangunan candinya, tetapi nilai-nilai yang bisa diungkapkan agar menjadi bermanfaat," katanya.
Ia mengatakan, pasal-pasal dalam RUU Cagar Budaya kurang menonjolkan atau menekankan siapa yang seharusnya bertugas dan diwajibkan untuk menyampaikan nilai-nilai semacam itu kepada masyarakat.
"RUU itu semestinya afermatif, bahwa nilai-nilai penting yang seharusnya diungkapkan. Oleh karena itu, kami memberikan usulan, salah satu contoh adalah bagaimana memberdayakan peran museum agar dapat mengkomunikasikan nilai-nilai yang penting tersebut," katanya.
Anggota Komisi X DPR Dedy Suwandi Gumelar mengatakan, sebagai penggagas draft RUU Cagar Budaya, para anggota DPR tetap membutuhkan masukan untuk penyempurnaan.
Dengan masukan yang berasal dari pemangku kepentingan kebudayaan, seperti para akademisi UGM, para pakar, dan masyarakat akan mempertinggi martabat bangsa melalui UU tersebut, karena ukuran bangsa yang beradab bisa dinilai dari apa yang ditinggalkan dari peradaban kebudayaan bangsa itu.
"Sejauh mana kita bisa melestarikan dan mampu mengembangkan, kemudian sejauh mana masyarakat memahami tentang peninggalan kebudayaan tersebut," katanya.
(ANT/S026)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010
Untuk lebih lanjutnya, silahkan baca tautan berikut: http://pbhmi.net/index.php?option=com_content&view=article&id=1066:siaran-pers-lembaga-seni-dan-budaya-lsb-pb-hmi-ruu-cagar-budaya-berpotensi-represif&catid=65:pernyat