Mereka tamu kami, jadi kami tak boleh mengatur prilaku mereka
Jakarta (ANTARA) - Pertengahan Maret lalu, Indonesia heboh gara-gara timnas bulu tangkis dipaksa mundur dari All England 2021 setelah penelusuran kontak menunjukkan tim Indonesia satu pesawat dengan seseorang yang terpapar COVID-19.
Karena adanya kontak tersebut, tim bulu tangkis Indonesia harus beberapa hari menjalani karantina yang praktis harus meninggalkan arena pertandingan.
Kecaman pun datang dari berbagai kalangan di Indonesia kepada BWF dan bahkan Inggris yang menjadi tuan rumah event. Kecaman itu bahkan menjadi irasional karena mengaitkan nasib timnas bulu tangkis tersebut dengan vaksin Astra-Zeneca yang saat itu tengah dalam proses evaluasi pemakaiannya di Indonesia.
Faktanya, hal itu terjadi karena aturan penelusuran kontak yang berlaku di Inggris dalam upaya membendung penyebaran COVID-19, mengharuskan siapa pun tanpa kecuali diisolasi beberapa hari karena dianggap dalam lingkup kontak dengan orang yang terpapar virus. Di Inggris, ketentuan ini tak bisa diintervensi siapa pun, termasuk pemerintahnya sendiri.
Kini dalam Olimpiade Tokyo, Indonesia dan juga kontingen-kontingen lainnya, harus bersiap menghadapi skenario serupa itu, apalagi tes COVID-19 akan dilakukan setiap hari.
Akan fatal akibatnya kepada atlet yang tengah memasuki fase menentukan dalam kompetisi yang terpaksa berhenti hanya karena penelusuran kontak menunjukkan si atlet mempunyai kontak dengan orang yang dinyatakan terpapar.
Risiko terbesar negara peserta Olimpiade Tokyo nanti, kata harian terkemuka Amerika Serikat Wall Street Journal pada 13 Juli, adalah begitu seseorang dinyatakan positif terpapar COVID-19 maka beberapa atau semua anggota tim bisa dipaksa mengakhiri kiprahnya dalam Olimpiade. Lebih menyedihkan lagi, tak ada satu pun negara peserta Olimpiade Tokyo yang bisa menjamin kemungkinan itu tak menimpa mereka.
Baca juga: KOI akan laporkan BWF ke IOC sebelum menggugat ke CAS
Baca juga: Menpora tak mau kasus All England terulang dalam turnamen lain
Baca juga: Pecatur Susanto harus hentikan pertandingan karena positif COVID-19
Selanjutnya: Olimpiade dalam sistem gelembung
Olimpiade Tokyo sudah diputuskan digelar dalam sistem gelembung seperti NBA di Amerika Serikat yang melakukannya dari 30 Juli sampai dengan 11 Oktober 2020 ketika melanjutkan kompetisi yang sempat terhenti pandemi.
Sama dengan gelembung NBA, Olimpiade Tokyo tak dihadiri penonton. Tapi gelembung Olimpiade Tokyo pastilah jauh lebih rumit dari pada gelembung NBA, mulai dari jumlah atlet, sampai kompleksitas masalahnya yang jauh lebih berat, termasuk hubungannya dengan pertemuan berbagai kultur berbeda yang bisa mempengaruhi bagaimana pandemi dan protokol kesehatan disikapi.
Pada gelembung NBA, 22 tim diundang melanjutkan kompetisi dan setiap tim dibatasi hanya mengirimkan 35 orang, termasuk 17 pemain. Mereka dipandu oleh protokol kesehatan yang ketat. Tetapi celah kebocoran gelembung justru pada 5.795 orang yang bekerja untuk kelancaran kompetisi NBA, termasuk mereka yang mengurus akomodasi.
Fakta di lapangan berbeda
Mereka disebut celah kebocoran karena mobilitas mereka untuk keluar masuk venue cukup tinggi, ketika semua atlet dan ofisial dikandangkan dalam satu tempat yang diikat oleh protokol kesehatan yang ketat.
Meskipun begitu, kompetisi NBA itu berakhir tanpa ada insiden berarti. Itu mungkin karena skala gelembung NBA jauh lebih kecil dibandingkan Olimpiade yang tak saja melibatkan puluhan ribu atlet dan ofisial, tetapi juga kultur berbeda-beda yang bisa menjadi kendala dalam hubungannya dengan protokol kesehatan.
Situasi itu diperumit oleh merajalelanya varian baru virus corona yang tak terjadi saat gelembung NBA dan juga saat kompetisi-kompetisi sepak bola elite Eropa digelar.
Contoh mutakhir mengenai celah gelembung Olimpiade itu terjadi Sabtu, 14 Juli lalu ketika tujuh pegawai sebuah hotel di Hamamatsu di Jepang tengah di mana puluhan atlet Brazil, positif terpapar COVID-19.
Baca juga: Tes terkini kembali nyatakan gelembung NBA bersih dari COVID-19
Baca juga: COVID-19 melanda kampung atlet, IOC minta dukungan warga Jepang
Selanjutnya: kekhawatiran mayoritas 11.000 atlet
Fakta peristiwa ini terjadi di perkampungan atlet seluas 44 hektar, memicu kekhawatiran mayoritas 11.000 atlet yang bakal tinggal di sana. Bukan itu saja, hal ini juga memicu lagi keraguan terhadap janji Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach mengenai Olimpiade yang “aman dan terjamin”.
Janji Bach ini dikuliti habis oleh media-media arus utama Jepang, termasuk Asahi Shimbun yang ironisnya salah satu sponsor resmi Olimpiade Tokyo, Yomiuri Shimbun dan Japan Times.
Dalam editorialnya 16 Juli lalu, selain menyerang langkah pemerintahan Perdana Menteri Yoshihide Suga dalam mengatasi masalah-masalah yang bisa memperburuk krisis kesehatan di Jepang, Asahi Shimbun juga mengkritik gambaran optimistis Bach mengenai Olimpiade Tokyo karena faktanya media massa mendapati situasi lapangan yang tidak sejalan dengan optimisme Bach itu.
Ini di antaranya, tidak dipisahkannya peserta Olimpiade dan penumpang biasa saat tiba di bandara dan hotel. Tak ada pengawasan ketat terhadap mereka yang masuk ke Jepang, termasuk peserta Olimpiade.
Asahi Shimnbun juga mempertanyakan operasional dan manajemen ajang global ini; Berapa lama atlet yang digolongkan kontak dekat dengan individu terpapar COVID-19 harus menjalani isolasi? Apa syarat atlet bisa dibolehkan berlomba atau bertanding ketika ada paparan virus corona? Siapa yang berwenang memutuskan semua itu dan siapa yang bertanggung jawab? Asahi Shimbun menilai panitia penyelenggara tak tegas menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.
Jepang, kata Asahi Shimbun, tak saja mengkhawatirkan potensi masuknya varian baru virus dari luar Jepang, namun juga wajib menghindarkan atlet dan peserta Olimpiade pulang dari Jepang sambil membawa virus ke negara mereka. Demi yang terakhir ini, Jepang harus sekuat tenaga mencegahnya, apa pun risikonya, agar skenario tersebut tak terjadi. Jangan sampai ada anggapan gelombang baru infeksi berasal dari Jepang, kata Asahi Shimbun.
Baca juga: Presiden IOC peringatkan atlet tidak "demonstrasi politik" di podium
Baca juga: Presiden IOC dan Gubernur Tokyo akan bertemu setelah kasus COVID naik
Selanjutnya: pengawasan yang kendor di lapangan
Memperketat diri
Sementara koran terkemuka Jepang lainnya, Yomiuri Shimbun, menyoroti pengawasan kendor di lapangan yang bertolak belakang dengan klaim penyelenggara, pemerintah dan IOC sendiri.
Penyelenggara telah membuat buku pedoman berisi aturan-aturan terkait COVID-19 selama Olmpiade berlangsung, yang di antaranya mengharuskan siapa yang terkait Olimpiade yang datang ke Jepang mesti menyerahkan agenda perjalanannya dan mereka tak boleh pergi ke tempat yang bukan venue Olimpiade dan lokasi-lokasi yang sudah disebutkan boleh dikunjungi. Tetapi, menurut Yomiuri Shimbun, pegawai hotel dan petugas keamanan pasif dalam memastikan peserta Olimpiade mematuhi agenda perjalanannya.
“Mereka tamu kami, jadi kami tak boleh mengatur prilaku mereka,” kata manajer di sebuah hotel di Shinagawa Ward, Tokyo, yang menampung sekitar 80 individu dari luar negeri yang terkait Olimpiade Tokyo.
Lain lagi kendala yang dihadapi petugas lapangan seperti seorang petugas keamanan hotel yang mengaku, “karena saya tak bisa berbahasa Inggris, saya tak bisa bertanya ke mana mereka pergi."
Metode gelembung adalah pendekatan untuk mengendalikan infeksi yang membatasi tempat-tempat mana yang boleh dikunjungi atlet atau orang-orang terkait Olimpiade sehingga mereka hanya terbatas berada di hotel, fasilitas pelatihan, venue pertandingan dan tempat-tempat khusus lainnya, demi menghindari kontak dengan orang-orang yang tak terkait dengan Olimpiade.
Fasilitas-fasilitas akomodasi di dalam gelembung ini diwajibkan membuat langkah-langkah seperti menentukan pintu masuk dan lift terpisah untuk orang-orang yang terkait dengan Olimpiade dan tamu biasa.
Namun, karena ada puluhan ribu atlet dan orang-orang yang terkait dengan Olimpiade, sejumlah kalangan dalam pemerintahan Jepang sejak semua khawatir sistem gelembung ini gagal membendung mereka semua.
Kenyataannya, menurut laporan berbagai media di Jepang, manakala pemerintah dan penyelenggara merancang orang-orang yang memasuki Jepang untuk Olimpiade menggunakan rute terpisah yang disiapkan untuk mereka saat melewati bandara, orang-orang terkait Olimpiade berkali-kali terlihat bebas berdampingan dengan pengunjung biasa. Bahkan ada wartawan asing yang menyelinap keluar hotelnya untuk mengunjungi tempat-tempat menarik di Tokyo untuk reportase.
Ini tentu mengkhawatirkan, terutama dalam kaitannya dengan upaya membendung infeksi. Bayangkan jika mereka terpapar dan lalu berinteraksi dengan atlet atau berada dalam lingkungan atlet, maka penelusuran kontak bisa berakhir kepada tak bisa tampilnya si atlet dalam panggung kompetisi. Akan jauh lebih fatal jika itu terjadi pada babak-babak menentukan dalam kompetisi.
Oleh karena itu, jika keraguan media massa Jepang benar adanya, maka Indonesia mesti waspada dan bersiap dengan ketat menjaga kontak setiap waktu agar hal serupa All England pada Maret 2021 tak terulang pada Olimpiade, apalagi jika menimpa atlet-atlet yang berpotensi meraih medali.
Baca juga: Kasus pertama atlet positif COVID-19 muncul di Kampung Atlet Olimpiade
Baca juga: Anggota kontingen Ceko terdeteksi idap COVID-19 setiba di Tokyo
Baca juga: Kontingen Indonesia bertolak ke Tokyo, siap tampil di Olimpiade
Copyright © ANTARA 2021