Jakarta (ANTARA) - Lautan maha luas yang meliputi dua pertiga permukaan bumi adalah sumber dari berbagai jenis pangan dan mineral, penghasil oksigen, penyerap gas rumah kaca sehingga menjaga dampak perubahan iklim, menentukan pola iklim, hingga menjadi rute perdagangan global.

Demikian kandungan terjemahan kalimat yang teruntai dalam laman Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), yang menunjukkan betapa esensialnya peran lautan bagi beragam aspek yang mempengaruhi tatanan perekonomian dunia.

Pada Juni 2021, UNCTAD menggelar konferensi mancanegara yang menekankan pentingnya ekonomi laut berkelanjutan bagi keseluruhan prospek pembangunan ekonomi terutama di negara-negara dengan garis pantai.

Data dari UNCTAD memperkirakan bahwa nilai keseluruhan ekspor atau perdagangan internasional barang dan jasa yang berbasis sumber daya laut di seluruh dunia setidaknya mencapai 2,5 triliun dolar AS per tahun.

Itu memberi sinyal pentingnya kebijakan yang mengarah kepada ekonomi biru, yaitu penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan.

Di Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menilai potensi ekonomi dari sektor kelautan Indonesia total dapat mencapai 1,33 triliun dolar AS.

Potensi dari kekayaan laut itu meliputi perikanan, pariwisata bahari, pelayaran, jasa kelautan hingga energi baru terbarukan yang terdiri dari arus laut, pasang surut, ocean thermal atau energi termal lautan, serta minyak dan gas.

Selain itu, diperkirakan pula bahwa sektor kelautan dan perikanan nasional berpotensi menciptakan lapangan kerja bagi 45 juta orang.

Dengan melimpahnya potensi kekayaan laut, tidak heran bila Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggelar program bantuan kepada Kelompok Masyarakat Penggerak Konservasi (KOMPAK) di berbagai wilayah di Tanah Air.

Misalnya, KKP pada 18 Juni 2021 memberikan bantuan berupa 1 unit motor roda tiga, 1 unit laptop, 1 unit printer, 5 unit alat selam dasar, 3 unit HT, 1 unit underwater camera, 2 unit senter bawah air dan 15 potong pakaian seragam kelompok dengan total nilai Rp92,27 juta kepada Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) Lawere yang bergerak mengawasi konservasi di Maluku.

POKMASWAS Lawere terpilih sebagai salah satu kelompok penerima bantuan karena semangat konservasi yang kuat. Sejak 2014, POKMASWAS Lawere secara aktif telah melakukan sosialisasi zonasi Pulau Ay, patroli rutin, pembersihan sampah bersama masyarakat serta perlindungan terhadap jenis ikan dilindungi.

Bantuan yang diberikan kepada POKMASWAS Lawere tersebut mengawali bantuan yang akan diserahkan kepada 4 kelompok lainnya di Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat dengan total bantuan senilai Rp367,79 juta.

Kemudian, bantuan senilai Rp95 juta berupa 3 unit tabung selam, 1 unit kompresor, 1 unit gantungan selam, dan 3 unit hanger juga telah diserahkan kepada POKMASWAS Bina Lestari di Desa Tanjung Limau, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, 22 Juni.

Selain itu, ada pula bantuan yang terdiri dari 5 set alat selam dan alat pendukung monitoring terumbu karang senilai Rp81,8 juta untuk Kelompok Yayasan Terumbu Karang Metamorfosa di Bali yang telah diserahkan pada 17 Juni.

Selanjutnya, bantuan senilai Rp100 juta dan Rp 99.575.000 yang terdiri dari paket peralatan selam dan sarana sosialisasi untuk mendukung kegiatan konservasi terumbu karang dan sosialisasi konservasi untuk masing-masing Kelompok Jaya Bahari dari Kabupaten Serang dan Kelompok Paniis Lestari dari Kabupaten Pandeglang, Banten, 29 Juni.

Secara keseluruhan, hingga Juni, KKP sudah menyerahkan delapan bantuan KOMPAK di antaranya di Padang, Sumatera Barat; Anambas, Kepulauan Riau; Buleleng, Bali; Gili Trawangan, Lombok; Maluku; Manado, Sulawesi Utara; dan Banda, Maluku Tengah.

Pemberian bantuan KOMPAK selain dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan konservasi oleh kelompok juga bertujuan untuk menghasilkan hasil yang lebih optimal dalam pelestarian kawasan.

Bantuan yang diberikan KKP kepada setiap kelompok akan terus dimonitor dan dievaluasi pemanfaatannya sebagai bahan evaluasi bagi KKP dalam pemberian bantuan KOMPAK berikutnya.

Garda terdepan

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mendorong kelompok penerima bantuan selalu menjadi garda terdepan dalam membangun sektor kelautan dan perikanan melalui berbagai aksi perlindungan dan konservasi.

Ia menegaskan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan di kawasan perairan Republik Indonesia oleh berbagai pihak harus dilakukan secara terukur dan selaras dengan prinsip ekonomi biru.

Sakti Wahyu Trenggono dalam sejumlah kesempatan juga mengungkapkan bahwa saat ini pihaknya tengah membuat model yang akan digunakan sebagai acuan dalam memanfaatkan sumber daya ikan secara terukur.

Beberapa faktor penting untuk mencapai pembangunan kelautan perikanan antara lain dengan penerapan teknologi terbarukan hingga kesiapan sumber daya manusia agar usaha di sektor kelautan dan perikanan memiliki produktivitas tinggi, berdaya saing dan efisien.

Menurut dia, masyarakat 5.0 harus menciptakan masyarakat yang dapat menyelesaikan berbagai tantangan sosial dengan memasukkan inovasi revolusi industri keempat seperti misalnya IoT, Big Data, Artificial Intelligence dan sharing economy ke dalam setiap industri dan sosial perikanan.

Ke depannya, otomatisasi dalam pengambilan keputusan, diharapkan dapat membuat kehidupan masyarakat khususnya di sektor perikanan akan lebih selaras dan berkelanjutan.

Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia KKP Sjarief Widjaja menuturkan, laut yang sehat menjadi syarat utama konsepsi ekonomi biru yang tengah dikembangkan KKP di Indonesia, dengan kata kuncinya berkelanjutan, efisien, tanpa limbah, keadilan inklusif, pertumbuhan ekonomi, dan kesadaran publik.

Ia mengingatkan ada kegiatan yang dilakukan di luar ruang laut tetapi dampaknya mempengaruhi kesehatan laut, antara lain pencemaran laut (pengelolaan aktivitas di darat seperti limbah industri dan rumah tangga) serta sikap dan perilaku masyarakat terhadap laut.

Dalam bentuk kerja sama nyata, KKP misalnya telah menggandeng pemerintah daerah setempat dan United Nations Development Program (UNDP) untuk membentuk Tim Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Laut di Wilayah Perairan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Plt. Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Antam Novambar, menjelaskan bahwa pembentukan Tim Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Laut di Wilayah Perairan Provinsi NTT itu merupakan implementasi dari Program Arafura and Timor Seas Ecosystem Approach Phase II (ATSEA-2) yang inisiasi awalnya telah dilaksanakan sejak Juni 2020.

Sementara itu, Direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan KKP, Halid K. Jusuf menyampaikan bahwa Pemerintah Daerah perlu mempersiapkan instrumen penanggulangan pencemaran ini bukan hanya persoalan penegakan hukum saja, tetapi perlu dipersiapkan instrumen pengendaliannya.

Oleh sebab itu, Halid berharap Pemerintah Daerah untuk menyiapkan regulasi terkait hal tersebut karena perlu dukungan Peraturan Daerah yang solid untuk memperkuat pengawasan dan pengendalian pencemaran.

Dengan adanya kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dalam hal ini KKP, kemudian dengan pemda, lembaga internasional, terutama dengan kalangan masyarakat seperti kelompok konservasi, menunjukkan pemerintah serius dalam menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan ekosistem di laut Nusantara.

Baca juga: Menteri Kelautan: Ekonomi biru perlu didukung penguatan riset

Baca juga: Indonesia-Prancis perkuat kerja sama maritim untuk pembangunan ekonomi

Baca juga: Pentingnya membumikan konsep ekonomi biru secara efektif di Indonesia

Baca juga: Menteri Trenggono: Aktivitas ekonomi di laut harus ramah lingkungan

Copyright © ANTARA 2021