"Berdasarkan pengamatan di lapangan, produk bordir yang diimpor dari China dan Vietnam cukup banyak terlihat di toko atau pasar tradisional di Kudus. Hal ini mengancam keberadaan pengrajin di Kudus," katanya di Kudus, Kamis.
Dia mengakui, sebagian besar pengusaha di Kudus tidak mengetahui istilah praktik dumping.
"Mayoritas memang masih awam sehingga ke depan perlu dilakukan sosialisasi lebih mendalam agar mereka juga mengetahui tindakan yang harus dilakukan agar usahanya tetap eksis," ujarnya.
Selain mengancam kerajinan bordir, kata dia, kerajinan mainan anak-anak juga ikut terancam, menyusul banyaknya mainan impor dari China yang beredar di pasar-pasar tradisional di Kudus.
Ketua Kadin Jepara Adi Sucipto yang mengatakan, industri yang terancam praktik dumping adalah industri bahan baku tenun ikat Troso dan mebel.
"Pasalnya, harga benang polyester sebagai bahan baku utama tenun ikat yang diimpor dari China hanya Rp5,2 juta per bal, jauh lebih murah dibandingkan harga benang lokal jenis katun yang mencapai Rp7,8 juta per bal," ujarnya.
Ia mengatakan, masuknya benang poliester ini terjadi sejak tiga tahun yang lalu, saat ini semakin banyak. "Meskipun kualitasnya jauh lebih bagus dibanding jenis katun, konsumen tidak banyak yang tahu perbedaannya karena bila dilihat hampir sama," ujarnya.
Ketua Kadin Jateng Solichedi mengatakan, penyuluhan ketentuan antidumping ini bagi para pelaku usaha, terutama di Jateng dinilai sangat penting, karena Jateng menempati urutan pertama sasaran produk impor, khususnya dari China.
Dalam satu semester tahun ini, katanya, besarnya impor produk China di Jateng naik menjadi 90,53 persen atau senilai 593 juta Dolar AS.
"Jika tidak ada antisipasi dengan kebijakan antidumping, maka akan terjadi pengurangan jumlah industri, sehingga para pengusaha tidak lagi berproduksi namun beralih menjadi pedagang atau penyalur.(*)
KR-AN/A030
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010