Ubud (ANTARA News) - Lantunan tembang ilir-ilir ciptaan Sunan Kalijaga yang dibawakan Kiai Kanjeng, menyambut malam penghormatan bagi almarhum Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur di Pura Dalam Ubud, Kabupaten Gianyar, Rabu (6/10).
Acara yang merupakan rangkaian festival sastra "Citibank - Ubud Writers and Readers Festival" itu, bertujuan mengenang Gus Dur sebagai sang negarawan, pemimpin religius, pluralis dan komedian yang dinilai sebagai simbol hidup dari falsafah Bhinneka Tunggal Ika.
Kiai Kanjeng adalah nama sebuah konsep nada pada alat musik "tradisional" gamelan.
Pementasan yang menampilkan rangkaian perjalanan dalam mengajarkan agama Islam di tanah Jawa itu, mampu memikat hadirin dari berbagai kalangan, termasuk penonton masyarakat umum.
Greg Barton, profesor dari Monash University yang menulis biografi sang guru bangsa tersebut, menilai Gus Dur merupakan politisi yang berani tampil beda dan berpikir melampaui zamannya, sehingga kerap kali dianggap sebagai tokoh yang nyleneh.
Hal senada disampaikan oleh Inayah Wahid, putri bungsu presiden ke-4 Indonesia tersebut. Menurutnya, sikap Gus Dur yang pluralis merupakan hasil pembelajaran dari "guru" berupa berbagai buku yang dibacanya.
"Saya berharap akan ada lagi yang belajar dari `guru-guru` itu dan menjadi sebijak Gus Dur. Perjuangan terhadap apa yang diinginkan almarhum masih panjang. PR kami kini melanjutkan cita-citanya dan menambal jaring-jaring Gus Dur yang sempat terkoyak," ujar Ina, panggilan akrab Inayah Wahid.
Kebhinekaan malam persembahan bagi Gus Dur tersebut semakin meriah dengan pertunjukan tari, pembacaan puisi, dan musik oleh Cok Sawitri. Karya koreografi yang ditampilkannya untuk menghormati Gus Dur merupakan fragmen dari "Sutasoma".
Dalam karya berdurasi sekitar 30 menit itu, Cokorda Sawitri berusaha mengangkat sebuah dialog antara Sunya dan Nirvana. Tarian Sunya dan Nirvana yang digubah oleh Cok Sawitri dan Dayu Arya Satyani tersebut lahir dari sebuah keinginan menjembatani hubungan antarmanusia dan antaretnik di seluruh penjuru Nusantara.
Gaya tarian Sunya dan Nirvana sendiri mengambil esensi gerak dari tarian Panji, sebuah gaya tari dan gesture yang umum ditemui pada drama tari tradisional Bali, Gambuh dan Arja.
Tarian itu sendiri menampilkan sebuah simbolisasi ajaran Hindu-Siwa yang diwakili oleh Jayantaka dan ajaran Budha oleh Sutasoma.
Penonton juga dihibur pembacaan puisi oleh Sosiawan Leak, setelah sebelumya disuguhi suara merdu Zulaikha yang menyanyikan Ave Maria dan Citra.
Leak mengaku, puisi tersebut terinspirasi perilaku kawin pada babi jantan. Meskipun hanya seekor babi, namun memiliki insting terhadap betina yang siap untuk kawin.
"Manusia (pemerintah) yang sering menyatakan diri berakal budi malah kerap bertingkah lebih buruk dari itu," ujar Leak, sebelum memulai membaca puisi.
Kekhidmatan malam peringatan itu semakin terasa oleh penampilan Ayu Laksmi yang membawakan beberapa lagu dari albumnya, Suara Semesta. Lagu-lagu tersebut berasal dari berbagai bahasa seperti bahasa daerah Bali, bahasa Kawi, Sansekerta dan Indonesia.
Dalam karya-karyanya, Ayu Laksmi yang mulai bernyanyi sejak umur empat tahun, selalu mengangkat tema-tema cinta yang universal, baik terhadap sesama manusia, cinta untuk alam semesta dan cinta untuk Tuhan.
Dimulai dengan Maha Asa, penonton kemudian dibawa ke dalam suasana yang makin syahdu ketika ia membawakan nyanyian Kakawin Arjuna Wiwaha.
Dalam penampilannya itu, Ayu Laksmi mengadaptasi gaya ala wayang kulit Jawa yang memanfaatkan cahaya dan kain putih untuk menghasilkan siluet yang dramatis.
Puncaknya, ia mengajak pengunjung melantunkan mantra Buddha ditutup dengan bershalawat badar bersama-sama.
(T007/Z002)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010