Sumenep (ANTARA News) - "Ketimbang hujan emas di negeri orang lebih baik hujan batu di negeri sendiri." Peribahasa itu terpatri di lubuk hati Halimatus Sakdiyah.
Meskipun sebagian tetangganya di Desa Gapurana, Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep, Madura, Jatim, menuai kegemilangan secara materi melalui peraduan nasib di tanah perantauan, ibu dua anak itu tak tergoda sedikit pun untuk mengikuti jejak mereka.
Ia percaya bahwa di mana pun manusia dilahirkan, pasti tempat itu bisa menghidupinya, sehingga batinnya pun berbisik, "Tak perlu jauh meninggalkan kampung halaman, kalau hanya sekadar untuk menyambung hidup."
Ia juga menyadari penghasilan suami Rp20 ribu per hari sebagai upah kerja di perusahaan mebel milik tetangga tak akan mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Apalagi dua anaknya, masing-masing duduk di bangku kelas I sekolah menengah atas (SMA) dan kelas III sekolah dasar (SD) meminta uang saku untuk keperluan jajan sehari-hari.
Sebagai ibu rumah tangga, Halimah tak akan berpangku tangan karena dia sadar hal itu sangat membebani suaminya sebagai kepala rumah tangga.
Ia mengajak berunding 20 orang warga kecamatan di Pulau Poteran itu yang mendapatkan bantuan langsung mandiri (BLM) senilai Rp300 ribu dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Dari hasil "persekongkolan" antar-ibu rumah tangga miskin penerima BLM di Desa Gapurana itu, akhirnya terkumpul uang senilai Rp6,3 juta. Mereka pun sepakat membentuk Kelompok Masyarakat Wanita Karya dan menunjuk Halimah sebagai ketuanya.
Uang sebesar Rp6,3 juta yang didapat dari program Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdu Taskin) Pemprov Jatim pada 2003 kemudian dia gunakan untuk kegiatan usaha.
Tanpa melalui perdebatan yang bertele-tele dan melelahkan, Pokmas Wanita Karya itu pun akhirnya bersepakat memilih usaha konveksi sesuai dengan minat dan ketertarikan para anggotanya .
Mereka pun sangat hati-hati dalam membidik pasar karena sekali melakukan kesalahan, jurang kegagalan sudah menganga di depan mata. Dan, kalau sampai itu terjadi, maka perangkap para rentenir pun akan kembali menjerat mereka.
"Setelah melalui survei kecil-kecilan, akhirnya kami memilih usaha baju pengantin," kata Halimah di dampingi beberapa anggota Pokmas Wanita Karya.
Menjual baju pengantin di desa itu bukan pekerjaan mudah. Berdasarkan data Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga Bencana (BPMP-KB) Kabupaten Sumenep menyebutkan 62 persen dari jumlah penduduk Kecamatan Talango yang mencapai 40.542 jiwa atau setara 13.642 kepala keluarga (KK) termasuk kategori miskin.
Sulit dipercaya bahwa penduduk kecamatan yang berada di Pulau Poteran itu akan mampu membeli baju pengantin jenis kebaya buatan Pokmas Wanita Karya yang dijual seharga Rp300 ribu hingga Rp1 juta per potong.
Namun, Halimah percaya semboyan binis, "Take risk, take return". Baginya, bisnis apa pun selalu mengandung risiko. Siapa yang tak berani mengambil risiko, tak akan mendapatkan keuntungan.
"Tak peduli apa kata orang. Kami tetap yakin, usaha baju pengantin yang kami tekuni akan membawa hasil," ucap Halimah dengan nada optimistis.
Untuk mengambil risiko tentu harus disertai pengorbanan. Ia merelakan ruang tamu, ruang keluarga, dan kamar tidurnya diacak-acak, demi mengejar mimpi-mimpinya itu.
Tempat tinggal yang selama ini berfungsi sebagai wahana sosialiasi anggota keluarga disulap menjadi semacam dapur kegiatan usahanya, sehingga banyak didapati kain perca berserakan di mana-mana..
Meskipun tak pernah mendalami disiplin ilmu manajemen, dia mengerti bahwa mengelola kegiatan usaha itu harus dibarengi rasa tanggung jawab bersama sesuai kemampuan di bidangnya masing-masing.
Warga Desa Gapurana belum tentu mengerti revolusi industri yang terjadi di Prancis ratusan tahun silam. Namun, Halimah dan kawan-kawan menjalankan usahanya itu persis pada saat peradaban zaman industri yang ditandai dengan maraknya ideologi kapitalisme itu terjadi.
Keterampilan merancang busana tak muncul begitu saja. Mereka belajar secara mandiri dengan memanfaatkan koran atau majalah bekas yang banyak menyajikan tulisan dan foto tentang model pakaian wanita.
"Kalau ada kesempatan jalan-jalan ke Sumenep atau ke Surabaya, saya selalu membeli tabloid atau majalah wanita bekas. Biasanya di dalamnya banyak terdapat model pakaian seperti kebaya, berikut cara pembuatannya," kata Halimah.
Barang-barang bekas itu pun dia jadikan referensi sekaligus sebagai acuan dalam membagi tugas anggota Pokmas Wanita Karya sesuai minat dan kemampuan. Ada yang tugasnya memotong-motong kain menjadi beberapa bagian, ada kebagian sebagai tukang jahit, dan ada pula yang ditempa sebagai ahli bordir.
Sementara yang merasa tidak memiliki kemampuan dan bakat di atas rata-rata, tetap dilibatkan, meskipun tugasnya hanya menempel payet, memasang kancing baju, dan pekerjaan sepele lainnya.
"Itulah makna dari sebuah usaha gotong royong," kata Halimah yang menempatkan dirinya sebagai perancang mode saat ditemui di tempat usahanya, Sabtu (25/9) lalu
(M038*C004/Z002)
Oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010